Tentang ...

Selasa, 05 Maret 2013

Masyarakat Madani



BAB II
PEMBAHASAN

2.1         Pengertian Masyarakat Madani
Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam Kamus Bahasa Arab karangan Prof. Mahmud Yunus, “MADANI” artinya orang kota atau orang sipil. “membangun suasana hidup perkotaan”, bahasa Arabnya adalah maddana – yumaddinu – tamdiinaan.
Namun, di tengah-tengah masyarakat lebih popular dengan sebutan “madani”. Munculnya istilah Masyarakat Madani, bersamaan dengan saat-saat menjelang berakhirnya pemerintahan Orde Baru pimpinan Soeharto. Mula-mula adalah dari tokoh PARAMADINA. Salah seorang yang sering menggunakan istilah ini adalah Prof. Dr. H. Emil Salim, yang sempat mencalonkan diri menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia mendampingi pencalonan Prof. Dr. B. J. Habibi.
Istilah ini semakin populer pada masa lengsernya Presiden Soeharto dan pertama kali dimunculkan dalam Sidang Umun MPR Era Reformasi. Masyarakat madani sangat identik dengan masyarakat kota yang mempunyai perangai dinamis, sibuk, berpikir logis, berpola hidup praktis, berwawasan luas dan mencari terobosan baru didukung dengan mental akhlakul karimah.
Masyarakat madani, merupakan penerjemahan istilah dari konsep civil society yang pertama kali digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim pada tanggal 26 September 1995. Menurut beliau, masyarakat madani merupakan sistem sosial yang subur yang diasaskan pada prinsip moral.
Menurut Zbigniew Rau, masyarakat madani adalah masyarakat yang berkembang yang mengandalkan ruang di mana individu dan perkumpulan tempat mereka bergabung, bersaing, guna mencapai nilai-nilai yang mereka yakini.
Menurut Han Sung-joo, masyarakat madani adalah sebuah kerangka hukum yang melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu. Sedangkan menurut Kim Sunhyuk, masyarakat madani adalah suatu kesatuan yang terdiri dari kelompok-kelompok secara mandiri.

2.2         Karakteristik Masyarakat Madani
Penyebutan karakteristik masyarakat madani dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa dalam merealisasikan wacana masyarakat madani diperlukan prasyarat-prasyarat yang menjadi nilai universal dalam penegakan masyarakat madani. Prasyarat ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain atau hanya mengambil salah satunya saja, melainkan merupakan satu kesatuan yang integral yang menjadi dasar dan nilai bagi eksistensi masyarakat madani.
Karakteristik tersebut antara lain adalah :
a.         Free Public Sphere
Yang dimaksud dengan free public sphere adalah adanya ruang publik yang bebas sebagai sarana dalam mengemukakan pendapat. Pada ruang publik yang bebaslah individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan transaksi-transaksi wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran. Aksentuasi prasyarat ini dikemukakan oleh Arendt dan Habermas. Lebih lanjut dikatakan bahwa ruang publik secara teoritis bisa diartikan sebagai wilayah dimana masyarakat sebagai warga negara memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik. Warga negara berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul serta mempublikasikan informasi kepada publik.
Sebagai sebuah prasyarat maka, untuk mengembangkan dan mewujudkan masyarakat madani dalam sebuah tatanan masyarakat, maka free public sphere menjadi salah satu bagian yang harus diperhatikan. Karena dengan menafikan adanya ruang publik yang bebas dalam tatanan masyarakat madani, maka akan memungkinkan terjadinya pembungkaman kebebasan warga negara dalam menyalutkan aspirasinya yang berkenaan dengan kepentingan umum olrh penguasa yang tiranik dan otoriter.
b.        Demokratis
Demokratis merupakan ciri entitas yang menjadi penegak wacana masyarakat madani, dimana dalam menjalani kehidupan, warga negara memiliki kebebasan penuh untuk menjalankan aktivitas kesehariannya, termasuk dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Demokratis berarti masyarakat dapat berlaku santun dalam pola hubungan interaksi dengan masyarakat sekitarnya dengan tidak mempertimbangkan suku, ras dan agama. Prasyarat demokratis ini banyak dikemukakan oleh para pakar yang mengkaji fenomena masyarakat madani. Bahkan denokrasi merupakan salah satu syarat mutlak bagi penegakan masyarakat madani. Penekanan demokrasi (demokratis) di sini dapat mencakup berbagai bentuk aspek kehidupan seperti politik, sosial, budaya, pendidikan, ekonomi, dan sebagainya.

c.         Toleran
Toleran merupakan sikap yang dikembangkan dalam masyarakat madani untuk menunjukkan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan orang lain. Toleransi ini memungkinkan akan adanya kesadaran masing-masing individu untuk menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh kelompokmasyarakat lain yang berbeda. Toleransi – menurut Nurcholish Madjid – merupakan persoalan ajaran dan kewajiban melaksanakan ajaran itu. Jika toleransi menghasilkan adanya tata cara pergaulan yang “enak” antara berbagai kelompok yang berbeda-beda, maka hasil itu harus dipahami sebagai “hikmah” atau “manfaat” dari pelaksanaan ajaran yang benar. Azyumardi azra pun menyebutkan bahwa masyarakat madani (civil society) lebih darri sekadar gerakan-gerakan pro demokrasi. Civilitas meniscayakan toleransi, yakni kesediaan individu-individu untuk menerima pandangan-pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda.

d.        Pluralisme
Prasyarat penegakan masyarakat madani, maka pluralisme harus dipahami secara mengakar dengan menciptakan sebuah tatanan kehidupan yang menghargai dan menerima kemajemukan dalam konteks kehidupan sehari-hari. Pluralisme tidak bisa dipahami hanya dengan sikapyang tulus untuk menerima kenyataan pluralisme itu sebagai bernilai positif, merupakan rahmat Tuhan. Menurut Nurcholish Madjid, konsep pluralisme ini merupakan prasyarat bagi tegaknya masyarakat madani. Pluralisme menurutnya adalah pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engangement of diversities within the bonds of civility). Bahkan pluralisme juga adalah suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia  antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan (check and balance). Lebih lanjut Nurcholish mengatakan bahwa sikap penuh pengertian kepada orang lain itu diperlukan dalam masyarakat yang majemuk, yakni masyarakat uang tidak monopolitik. Apalagi sesungguhnya kemajemukan masyarakat itu sudah merupakan dekrit Allah dan design-Nya untuk umat manusia. Jadi tidak ada masyarakat yang tunggal, monolitik, sama, dan sebangun dalam segala segi.

e.         Keadilan Sosial
Keadilan dimaksudkan untuk menyebutkan keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Hal ini memungkinkan tidak adanya monopoli dan pemusatan salah satu aspek kehidupan pada satu kelompok masyarakat. Secara esensial, masyarakat memiliki hak yang sama dalam memperoleh kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah (penguasa).



2.3         Sejarah Perkembangan Masyarakat Madani
Wacana masyarakat madani merupakan konsep pergolakan politik yang berasal dari pergolakan politik dan sejarah masyarakat Eropa Barat yang mengalami proses transformasi dari pola kehidupan feodal menuju kehidupan masyarakat industri kapitalis. Jika dicari akar sejarahnya dari awal, maka perkembangan wacana masyarakat madani dapat dirunut mulai dari Cicero sampai pada Antonio Gramsci dan de’Tocquiville. Bahkan menurut Manfred Ridel, Cohen dan Arato serta M. Dawam Rahardjo, wacana masyarakat madani sudah mengemuka pada masa Aristoteles.
Pada masa ini (Aristoteles, 382-322 SM) masyarakat madani dipahami sebagai sistem kenegaraan dengan menggunakan istilah koinonia politike, yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai percaturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan. Istilah koinonia politike yang dikemukakan Aristoteles ini digunakan untuk menggambarkan sebuah masyarakat politis dan etis dimana warga negara didalamnya berkedudukan sama di depan hukum. Hukum sendiri dianggap etos, yakni seperangkat nilai yang disepakati tidak hanya berkaitan dengan prosedur politik, tetapi juga sebagai substansi dasar kebijakan (virtue) dari barbagai bentuk interaksi di antara warga negara.
Konsep Aristoteles ini diikuti oleh Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) dengan istilah societies civilies, yaitu sebuah komunitas yang mendominasi komunitas yang lain. Istilah yang dikedepankan oleh Cicero ini lebih menekankan pada konsep negara kota (city-state), yakni untuk menggambarkan kerajaan, kota, dan bentuk korporasi lainnya, sebagai kesatuan yang terorganisasi. Konsepsi masyarakat madani yang aksentuasinya pada sistem kenegaraan ini dikembangkan pula oleh Thomas Hobbes (1588-1679 M) dan Jhon Locke (1632-1704).
Menurut Hobbes, masayarakat madani harus memiliki kekuasan mutlak, agar mampu sepenuhnya mengontrol dan mengawasi secara ketat pola-pola interaksi (perilaku politik) setiap warga negara. Sementara menurut Jhon Locke, kehadiran masyarakat madani dimaksudkan untuk melindungi kebebasan dan hak milik setiap warga negara. Konsekuensinya adalah, masyarakat madani tidak boleh absolut dan harus membatasi perannya pada wilayah yang tidak bisa dikelola masyarakat dan memberikan ruang yang manusiawi bagi warga negara untuk memperoleh haknya secara adil dan proporsional.
Pada tahun 1767, wacana masyarakat madani ini dikembangkan oleh Adam Ferguson dengan mengambil konteks sosio-kultural dan politik Skotlandia. Ferguson menekankan masyarakat madani pada sebuah visi etis dalam kehidupan bermasyarakat. Pemahamannya ini digunakan untuk mengantisipasi perubahan sosial yang diakibatkan oleh evolusi dan munculnya kapitalisme serta mencoloknya perbedaan antara publik dan individu. Dengan konsepnya ini, Ferguson berharap bahwa publik memiliki spirit untuk menghalangi munculnya kembali despotisme, karena dalam masyarakat madani itulah solidaritas muncul dan diilhami oleh sentimen moral dan sikap saling menyayangi serta saling mempercayai antar warga negara secara ilmiah.
Kemudian pada tahun 1792, muncul wacana masyarakat madani yang memiliki aksentuasi yang berbeda dengan sebelumnya. Konsep ini dimunculkan oleh Thomas Paine (1737-1803) yang menggunakan instilah masyarakat madani sebagai kelompok masyarakat yang memiliki posisi secara diametral dengan negara, bahkan diangapnya sebagai anti tesis darri negara. Dengan demikian, maka negara harus dibatasi sampai sekecil-kecilnya dan ia merupakan perwujudan dari delegasi kekuasaan yang diberikan oleh masyarakat demi tercuptanya kesejahteraan umum. Dengan demikian, maka masyarakat madani menurut Paine ini adalah ruang dimana warga dapat mengembangkan kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan kepentingannya secara bebas dan tanpa paksaan. Paine mengidealkan terciptanya suatu ruang gerak yang menjadi domain masyarakat, dimana intervensi negara didalamnya merupakan aktivitas yang tidak sah dan tidak dibenarkan. Oleh karenanya, maka masyarakat madani harus lebihh kuat dan mampu mengontrol negara demi kebutuhannya.
Perkembangan civil society selanjutnya dikembangkan oleh G.W.F. Hegel (1770- 1831 M), Karl Marx (1818-1883 M) dan Antonio Gramsci (1891-1837 M). Wacana masyarakat madani yang dikembangkan oleh ketiga tokoh ini menekankan pada masyarakat madani sebagai ideologi kelas dominan. Pemahaman ini lebih merupakan sebuah reaksi dari model pemahaman yang dilakukan oleh Paine (yang menganggap masyarakat madani sebagai bagian terpisah dari negara).
Menurut Hegel masyarakat madani merupakan kelompok subordinatif dari negara. Pamahaman ini, menurut Ryas Rasyid erat kaitannya dengan fenomena masyarakat borjuis Eropa (burgerlische gesselschaft) yang pertumbuhannya ditandai dengan perjuangan melepaskan diri dari dominasi negara.
Karl Marx memahami masyarakat madani sebagai “masyarakat borjuis” dalam konteks hubungan produksi kapitalis, keberadaannya merupakan kendala bagi pembebasan manusia dari penindasan. Karenanya, maka ia harus dilenyapkan untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas.
Sementara Antonio Gramsci tidak memahami memahami masyarakat madani sebagai relasi produksi, tetapi lebih pada sisi ideologis. Bila Marx menempatkan masyarakat madani pada basis material, maka Gramsci meletakkannya pada superstruktur, berdampingan dengan negara yang ia sebut sebagai political society. Masyarakat madani merupakan tempat perebutan posisi hagemonik di luar kekuatan negara. Di dalamnya aparat hagemoni mengembangkan hagemoni untuk membentuk konsensus dalam masyarakat.
Pemahaman Gramsci memberikan tekanan pada kekuatan cendekiawan yang merupakan aktor utama dalam proses perubahan sosial dan politik. Gramsci dengan denikian melihat adanya siat kemandirian dan politis pada masyarakat madani, sekalipun pada instansi terakhir ia juga amat dipengaruhi oleh basis material (ekonomi).
Periode berikutnya, wacana masyarakat madani dikembangakan oleh Alexis de‘Tocquiville (1805-1859 M) yang berdasarkan pada pengalaman demokrasi di Amerika, dengan mengembangkan teori masyarakat madani seagai entitas penyeimbang kekuatan negara. Bagi de’Tocquiville, kekuatan politik dan masyarakat madani-lah yang menjadikan demokrasi di Amerika mempunyai daya tahan. Dengan terwujudnya pluralitas, kemandirian dan kapasitas politik di dalam masyarakat madani, maka warga Negara akan mampu mengimbangi dan mengontrol kekuatan negara.
Dari berbagai model pengembangan masyarakat madani diatas, model Gramsci dan Tocquiville-lah yang menjadi inspirasi gerakan pro-demokrasi di Eropa Timur dan Tengah pada sekitar akhir dasawarsa 80-an. Pengalaman Eropa Timur dan Tengah tersebut membuktikan bahwa justru dominasi negara atas masyarakatlah yang melumpuhkan kehidupan sosial mereka.
Hal ini berarti bahwa gerakan membangun masyarakat madani menjadi perjuangan untuk membangun harga diri mereka sebagai warga negara. Gagasan tentang masyarakat madani kemudian menjadi semacam landasan ideologis untuk membebaskan diri dari cengkraman Negara yang secara sistematis melemahkan daya kreasi dan kemandirian masyarakat

2.4         Masyarakat Madani dan Demokratisasi
Hubungan antara masyarakat madani dengan demokrasi, menurut Dawam bagaikan dua sisi mata uang, yang keduanya bersifat KO-eksistensi. Menurut masyarakat madani merupakan “rumah” persemian demokrasi, perlembang demokrasinya adalah pemilihan umum yang bebas dan rahasia.
Larry Diamond secara sistematis menyebutkan enam kontribusi masyrakat madani terhadap proses demokrasi; pertama, ia menyediakan wahana sumber daya politik, ekonomi, kebudayaan dan moral untuk mengawasi dan menjaga keseimbangan pejabat Negara. Kedua, pluraisme dalam masyarakat madani, bila diorganisir akan mejadi dasar yang penting bagi persaingan demokrasi. Ketiga memperkaya partisipasi politik dan meningkatkan kesadaran kewarganegaraan. Keempat ikut menjaga stabilitas Negara. Kelima, tempat pimpinan politik dan keenam, menghalangi dominasi rezim otoriter dan mempercepat runtuhnya rezim.
Untuk menciptakan masyarakat madani yang kuat dalam konteks pertumbuhan dan perkembangan demokrasi diperlukan pembentukan Negara secara grandual dengan suatu masyrakat politik yang demokratis partisipatoris, reflektif dan dewasa yang mampu menjadi penyeimbang dan control atas kecenderungan eksesif negara. Dalam masyarakat madani warga Negara sebagai pemilik kedaulatan dan hak untuk mengontrol pelaksanaan kekuasaan yang mengatasnamakan rakyat, sehingga setiap individu dalam masyarakat madani memiliki kesempatan untuk memperkuat kemandirian.
Kemandirian dimaksudkan adalah harus mampu direfleksikan dalam seluruh ruang kehidupan politik, ekonomi dan budaya, menurut M. Dawam Rahadjo ada beberapa asumsi yang berkembang. Pertama, demokratisasi bisa berkembang, apabila masyarakat madani menjadi kuat baik melalui perkembangan dari dalam atau dari diri sendiri. Kedua, demokratisasi hanya bisa berlangsung apabila peranan negara dikurangi atau dibatasi tanpa mengurangi efektivitas dan esensi melalui interaksi. Ketiga, demokrasi bisa berkembang dengan meningkatkan kemandirian independensi masyarakat madani dari tekanan dan negara.

2.5         Pilar-pilar Penegak Masyarakat Madani
Pilar penegak masyarakat madani adalah institusi-institusi yang menjadi        bagian dari social control yang berfungsi mengkritisi kebijakan-kebijakan penguasa yang diskriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas. Dalam penegakan masyarakat madani, pilar-pilar tersebut menjadi prasyarat mutlak bagi terwujudnya kekuatan masyarakat madani. Pilar-pilar tersebut antara lain .
1.    Lembaga Swadaya Masyarakat
2.    Pers
3.    Supremasi Hukum
4.    Perguruan Tinggi
5.    Partai Politik

Lembaga Swadaya Masyarakat, adalah institusi social yang dibentuk oleh swadaya masyarakat yang tugasnya membantu dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat, mengadakan pemberdayaan kepada masyarakat mengenai hal-hal yang signifikan dalam kehidupan sehari-hari, seperti advokasi, pelatihan dan sosialisasi program-program pembangunan masyarakat.
Pers, merupakan institusi yang penting karena memungkinkannya dapat mengkritisi dan menjadi bagian dari social control yang dapat menganalisa serta mempublikasikan dengan berbagai kebijakan pemerintah.
          Supremasi Hukum, memberi jaminan dan perlindungan terhadap segala bentuk penindasan individu dan kelompok yang melanggar norma-norma hukum.
Perguruan Tinggi, merupakan bagian dari kekuatan social dan masyarakat madani yang bergerak pada jalur moral force untuk menyalurkan aspirasi masyarakat dan mengkritisi berbagai kebijakan-kebijakan pemerintah. Perguruan tinggi memiliki tugas utama mencari dan menciptakan ide-ide alternatif dan konstruktif untuk dapat menjawab masalah yang dihadapi oleh masyarakat.
Partai Politik, merupakan wahana bagi warga negara untuk dapat menyalurkan aspirasi politiknya. Partai politik menjadi prasyarat tegaknya masyarakat madani.

2.6         Masyarakat Madani di Indonesia
Masyarakat madani jika dipahami secara sepintas merupakan format kehidupan alternatif yang mengedepankan semangat demokrasi dan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Hal ini diberlakukan ketika negara sebagai penguasa dan pemerintah tidak bisa menegakkan demokrasi dan hak-hak asasi manusia dalam menjalankan roda pemerintahannya. Di sinilah kemudian, konsep masyarakat madani menjadi alternatif pemecahan, dengan pemberdayaan dan penguatan daya control masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.
Kemungkinan berkembangnya masyarakat madani di Indonesia diawali dengan kasus-kasus pelanggaran HAM , pengekangan kebebasan berpendapat dan mengemukakan pendapat di muka umum kemudian dilanjutkan dengan munculnya berbagai lembaga-lembaga non pemerintah yang mempunyai kekuatan.
Selain itu, banyak terjadi pengambil alihan hak tanah rakyat oleh penguasa dengan alasan pembangunan, juga merupakan bagian dari penyelewengan dan penindasan. Untuk itu, maka diperlukan pengembangan masyarakat madani dengan menerapkan strategi pemberdayaannya sekaligus agar proses pembinaan dan pemberdayaan itu mencapai hasilnya secara optimal.
Menurut Dawam ada tiga strategi yang salah satunya dapat digunakan sebagai strategi dalam memberdayakan masyarakat madani di Indonesia, yaitu :
1.    Strategi yang lebih mementingkan integrasi nasional dan politik.
2.    Strategi yang lebih mengutamakan reformasi sistem politik dan demokrasi.
3.    Strategi yang memilih membangun masyarakat madani sebagai basis kearah demokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar