BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
Masyarakat Madani
Masyarakat madani adalah
masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang maju
dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam Kamus Bahasa Arab
karangan Prof. Mahmud Yunus, “MADANI” artinya orang kota atau orang sipil. “membangun suasana hidup perkotaan”,
bahasa Arabnya adalah maddana – yumaddinu – tamdiinaan.
Namun, di tengah-tengah masyarakat lebih popular dengan sebutan “madani”.
Munculnya istilah Masyarakat Madani, bersamaan dengan saat-saat menjelang
berakhirnya pemerintahan Orde Baru pimpinan Soeharto. Mula-mula adalah dari
tokoh PARAMADINA. Salah seorang yang sering menggunakan istilah ini adalah
Prof. Dr. H. Emil Salim, yang sempat mencalonkan diri menjadi Wakil Presiden
Republik Indonesia mendampingi pencalonan Prof. Dr. B. J. Habibi.
Istilah ini semakin populer pada masa lengsernya Presiden Soeharto dan
pertama kali dimunculkan dalam Sidang Umun MPR Era Reformasi. Masyarakat madani
sangat identik dengan masyarakat kota yang mempunyai perangai dinamis, sibuk,
berpikir logis, berpola hidup praktis, berwawasan luas dan mencari terobosan
baru didukung dengan mental akhlakul karimah.
Masyarakat madani, merupakan
penerjemahan istilah dari konsep civil
society yang pertama kali digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim pada
tanggal 26 September 1995. Menurut beliau, masyarakat madani merupakan sistem
sosial yang subur yang diasaskan pada prinsip moral.
Menurut Zbigniew Rau, masyarakat madani adalah masyarakat yang
berkembang yang mengandalkan ruang di mana individu dan perkumpulan tempat
mereka bergabung, bersaing, guna mencapai nilai-nilai yang mereka yakini.
Menurut Han Sung-joo, masyarakat madani adalah sebuah kerangka hukum
yang melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu. Sedangkan menurut Kim
Sunhyuk, masyarakat madani adalah suatu kesatuan yang terdiri dari
kelompok-kelompok secara mandiri.
2.2
Karakteristik
Masyarakat Madani
Penyebutan
karakteristik masyarakat madani dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa dalam
merealisasikan wacana masyarakat madani diperlukan prasyarat-prasyarat yang
menjadi nilai universal dalam penegakan masyarakat madani. Prasyarat ini tidak
bisa dipisahkan satu sama lain atau hanya mengambil salah satunya saja,
melainkan merupakan satu kesatuan yang integral yang menjadi dasar dan nilai
bagi eksistensi masyarakat madani.
Karakteristik
tersebut antara lain adalah :
a.
Free Public Sphere
Yang dimaksud dengan free public sphere adalah adanya ruang
publik yang bebas sebagai sarana dalam mengemukakan pendapat. Pada ruang publik
yang bebaslah individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan
transaksi-transaksi wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan
kekhawatiran. Aksentuasi prasyarat ini dikemukakan oleh Arendt dan Habermas. Lebih lanjut dikatakan bahwa ruang publik
secara teoritis bisa diartikan sebagai wilayah dimana masyarakat sebagai warga
negara memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik. Warga negara
berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat,
berserikat, berkumpul serta mempublikasikan informasi kepada publik.
Sebagai sebuah
prasyarat maka, untuk mengembangkan dan mewujudkan masyarakat madani dalam
sebuah tatanan masyarakat, maka free public sphere menjadi salah satu bagian
yang harus diperhatikan. Karena dengan menafikan adanya ruang publik yang bebas
dalam tatanan masyarakat madani, maka akan memungkinkan terjadinya pembungkaman
kebebasan warga negara dalam menyalutkan aspirasinya yang berkenaan dengan
kepentingan umum olrh penguasa yang tiranik dan otoriter.
b.
Demokratis
Demokratis merupakan
ciri entitas yang menjadi penegak wacana masyarakat madani, dimana dalam
menjalani kehidupan, warga negara memiliki kebebasan penuh untuk menjalankan
aktivitas kesehariannya, termasuk dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Demokratis berarti masyarakat dapat berlaku santun dalam pola hubungan
interaksi dengan masyarakat sekitarnya dengan tidak mempertimbangkan suku, ras
dan agama. Prasyarat demokratis ini banyak dikemukakan oleh para pakar yang
mengkaji fenomena masyarakat madani. Bahkan denokrasi merupakan salah satu
syarat mutlak bagi penegakan masyarakat madani. Penekanan demokrasi
(demokratis) di sini dapat mencakup berbagai bentuk aspek kehidupan seperti
politik, sosial, budaya, pendidikan, ekonomi, dan sebagainya.
c.
Toleran
Toleran merupakan
sikap yang dikembangkan dalam masyarakat madani untuk menunjukkan sikap saling
menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan orang lain. Toleransi ini
memungkinkan akan adanya kesadaran masing-masing individu untuk menghargai dan
menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh kelompokmasyarakat
lain yang berbeda. Toleransi – menurut Nurcholish Madjid – merupakan persoalan
ajaran dan kewajiban melaksanakan ajaran itu. Jika toleransi menghasilkan
adanya tata cara pergaulan yang “enak” antara berbagai kelompok yang
berbeda-beda, maka hasil itu harus dipahami sebagai “hikmah” atau “manfaat”
dari pelaksanaan ajaran yang benar. Azyumardi azra pun menyebutkan bahwa
masyarakat madani (civil society) lebih darri sekadar gerakan-gerakan pro
demokrasi. Civilitas meniscayakan toleransi, yakni kesediaan individu-individu
untuk menerima pandangan-pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda.
d.
Pluralisme
Prasyarat penegakan
masyarakat madani, maka pluralisme harus dipahami secara mengakar dengan
menciptakan sebuah tatanan kehidupan yang menghargai dan menerima kemajemukan
dalam konteks kehidupan sehari-hari. Pluralisme tidak bisa dipahami hanya
dengan sikapyang tulus untuk menerima kenyataan pluralisme itu sebagai bernilai
positif, merupakan rahmat Tuhan. Menurut Nurcholish Madjid, konsep pluralisme
ini merupakan prasyarat bagi tegaknya masyarakat madani. Pluralisme menurutnya
adalah pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine
engangement of diversities within the bonds of civility). Bahkan pluralisme
juga adalah suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia antara lain melalui mekanisme pengawasan dan
pengimbangan (check and balance). Lebih lanjut Nurcholish mengatakan bahwa
sikap penuh pengertian kepada orang lain itu diperlukan dalam masyarakat yang
majemuk, yakni masyarakat uang tidak monopolitik. Apalagi sesungguhnya
kemajemukan masyarakat itu sudah merupakan dekrit Allah dan design-Nya untuk
umat manusia. Jadi tidak ada masyarakat yang tunggal, monolitik, sama, dan
sebangun dalam segala segi.
e.
Keadilan Sosial
Keadilan
dimaksudkan untuk menyebutkan keseimbangan dan pembagian yang
proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang
mencakup seluruh aspek kehidupan. Hal ini memungkinkan
tidak adanya monopoli dan pemusatan salah satu aspek kehidupan
pada satu kelompok masyarakat. Secara esensial, masyarakat memiliki hak yang
sama dalam memperoleh kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh
pemerintah (penguasa).
2.3
Sejarah
Perkembangan Masyarakat Madani
Wacana
masyarakat madani merupakan konsep pergolakan politik yang berasal dari
pergolakan politik dan sejarah masyarakat Eropa Barat yang mengalami proses
transformasi dari pola kehidupan feodal menuju kehidupan masyarakat industri
kapitalis. Jika dicari akar sejarahnya dari awal, maka perkembangan wacana
masyarakat madani dapat dirunut mulai dari Cicero sampai pada Antonio Gramsci
dan de’Tocquiville. Bahkan menurut Manfred Ridel, Cohen dan Arato serta M.
Dawam Rahardjo, wacana masyarakat madani sudah mengemuka pada masa Aristoteles.
Pada
masa ini (Aristoteles, 382-322 SM) masyarakat madani dipahami sebagai sistem
kenegaraan dengan menggunakan istilah koinonia politike, yakni sebuah komunitas
politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai percaturan
ekonomi-politik dan pengambilan keputusan. Istilah koinonia politike yang
dikemukakan Aristoteles ini digunakan untuk menggambarkan sebuah masyarakat
politis dan etis dimana warga negara didalamnya berkedudukan sama di depan
hukum. Hukum sendiri dianggap etos, yakni seperangkat nilai yang disepakati
tidak hanya berkaitan dengan prosedur politik, tetapi juga sebagai substansi
dasar kebijakan (virtue) dari barbagai bentuk interaksi di antara warga negara.
Konsep
Aristoteles ini diikuti oleh Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) dengan istilah
societies civilies, yaitu sebuah komunitas yang mendominasi komunitas yang
lain. Istilah yang dikedepankan oleh Cicero ini lebih menekankan pada konsep
negara kota (city-state), yakni untuk menggambarkan kerajaan, kota, dan bentuk
korporasi lainnya, sebagai kesatuan yang terorganisasi. Konsepsi masyarakat
madani yang aksentuasinya pada sistem kenegaraan ini dikembangkan pula oleh
Thomas Hobbes (1588-1679 M) dan Jhon Locke (1632-1704).
Menurut
Hobbes, masayarakat madani harus memiliki kekuasan mutlak, agar mampu
sepenuhnya mengontrol dan mengawasi secara ketat pola-pola interaksi (perilaku
politik) setiap warga negara. Sementara menurut Jhon Locke, kehadiran
masyarakat madani dimaksudkan untuk melindungi kebebasan dan hak milik setiap
warga negara. Konsekuensinya adalah, masyarakat madani tidak boleh absolut dan
harus membatasi perannya pada wilayah yang tidak bisa dikelola masyarakat dan
memberikan ruang yang manusiawi bagi warga negara untuk memperoleh haknya
secara adil dan proporsional.
Pada
tahun 1767, wacana masyarakat madani ini dikembangkan oleh Adam Ferguson dengan
mengambil konteks sosio-kultural dan politik Skotlandia. Ferguson menekankan
masyarakat madani pada sebuah visi etis dalam kehidupan bermasyarakat.
Pemahamannya ini digunakan untuk mengantisipasi perubahan sosial yang
diakibatkan oleh evolusi dan munculnya kapitalisme serta mencoloknya perbedaan
antara publik dan individu. Dengan konsepnya ini, Ferguson berharap bahwa
publik memiliki spirit untuk menghalangi munculnya kembali despotisme, karena
dalam masyarakat madani itulah solidaritas muncul dan diilhami oleh sentimen
moral dan sikap saling menyayangi serta saling mempercayai antar warga negara
secara ilmiah.
Kemudian
pada tahun 1792, muncul wacana masyarakat madani yang memiliki aksentuasi yang
berbeda dengan sebelumnya. Konsep ini dimunculkan oleh Thomas Paine (1737-1803) yang menggunakan instilah masyarakat madani sebagai
kelompok masyarakat yang memiliki posisi secara diametral
dengan negara, bahkan diangapnya sebagai anti tesis darri
negara. Dengan demikian, maka negara harus dibatasi sampai sekecil-kecilnya dan
ia merupakan perwujudan dari delegasi kekuasaan yang
diberikan oleh masyarakat demi tercuptanya kesejahteraan
umum. Dengan demikian, maka masyarakat madani menurut Paine ini adalah ruang dimana warga dapat mengembangkan kepribadian dan
memberi peluang bagi pemuasan kepentingannya secara bebas
dan tanpa paksaan. Paine mengidealkan terciptanya suatu
ruang gerak yang menjadi domain masyarakat, dimana intervensi negara didalamnya merupakan aktivitas yang tidak sah dan tidak dibenarkan.
Oleh karenanya, maka masyarakat madani harus lebihh kuat
dan mampu mengontrol negara demi kebutuhannya.
Perkembangan civil society selanjutnya
dikembangkan oleh G.W.F. Hegel (1770- 1831 M), Karl Marx
(1818-1883 M) dan Antonio Gramsci (1891-1837 M). Wacana masyarakat
madani yang dikembangkan oleh ketiga tokoh ini menekankan pada masyarakat
madani sebagai ideologi kelas dominan. Pemahaman ini lebih
merupakan sebuah reaksi dari model pemahaman yang
dilakukan oleh Paine (yang menganggap masyarakat madani sebagai bagian terpisah dari negara).
Menurut Hegel masyarakat madani merupakan
kelompok subordinatif dari negara. Pamahaman ini, menurut
Ryas Rasyid erat kaitannya dengan fenomena masyarakat
borjuis Eropa (burgerlische gesselschaft) yang pertumbuhannya ditandai dengan perjuangan
melepaskan diri dari dominasi negara.
Karl Marx memahami masyarakat madani sebagai
“masyarakat borjuis” dalam konteks hubungan produksi
kapitalis, keberadaannya merupakan kendala bagi pembebasan manusia dari penindasan. Karenanya, maka ia harus dilenyapkan untuk
mewujudkan masyarakat tanpa kelas.
Sementara Antonio Gramsci tidak memahami
memahami masyarakat madani sebagai relasi produksi,
tetapi lebih pada sisi ideologis. Bila Marx menempatkan masyarakat
madani pada basis material, maka Gramsci meletakkannya pada superstruktur,
berdampingan dengan negara yang ia sebut sebagai political society. Masyarakat madani merupakan tempat perebutan posisi hagemonik di luar kekuatan negara.
Di dalamnya aparat hagemoni mengembangkan hagemoni untuk
membentuk konsensus dalam masyarakat.
Pemahaman Gramsci memberikan tekanan pada
kekuatan cendekiawan yang merupakan aktor utama dalam
proses perubahan sosial dan politik. Gramsci dengan denikian melihat adanya siat kemandirian dan politis pada masyarakat madani,
sekalipun pada instansi terakhir ia juga amat dipengaruhi
oleh basis material (ekonomi).
Periode berikutnya, wacana masyarakat madani
dikembangakan oleh Alexis de‘Tocquiville (1805-1859 M)
yang berdasarkan pada pengalaman demokrasi di Amerika, dengan
mengembangkan teori masyarakat madani seagai entitas penyeimbang kekuatan
negara. Bagi de’Tocquiville, kekuatan politik dan masyarakat
madani-lah yang menjadikan demokrasi di Amerika mempunyai
daya tahan. Dengan terwujudnya pluralitas, kemandirian dan
kapasitas politik di dalam masyarakat madani, maka warga Negara akan mampu
mengimbangi dan mengontrol kekuatan negara.
Dari berbagai model
pengembangan masyarakat madani diatas, model Gramsci dan
Tocquiville-lah yang menjadi inspirasi gerakan pro-demokrasi di
Eropa Timur dan Tengah pada sekitar akhir dasawarsa
80-an. Pengalaman Eropa Timur dan Tengah tersebut membuktikan
bahwa justru dominasi negara atas masyarakatlah yang melumpuhkan kehidupan sosial mereka.
Hal ini berarti bahwa
gerakan membangun masyarakat madani menjadi perjuangan untuk membangun harga diri mereka sebagai warga
negara. Gagasan tentang masyarakat madani kemudian
menjadi semacam landasan ideologis untuk membebaskan diri
dari cengkraman Negara yang secara sistematis melemahkan daya kreasi dan kemandirian masyarakat
2.4
Masyarakat
Madani dan Demokratisasi
Hubungan antara
masyarakat madani dengan demokrasi, menurut Dawam bagaikan dua sisi mata uang,
yang keduanya bersifat KO-eksistensi. Menurut masyarakat madani merupakan
“rumah” persemian demokrasi, perlembang demokrasinya adalah pemilihan umum yang
bebas dan rahasia.
Larry Diamond secara
sistematis menyebutkan enam kontribusi masyrakat madani terhadap proses
demokrasi; pertama, ia menyediakan wahana sumber daya politik, ekonomi,
kebudayaan dan moral untuk mengawasi dan menjaga keseimbangan pejabat Negara.
Kedua, pluraisme dalam masyarakat madani, bila diorganisir akan mejadi dasar
yang penting bagi persaingan demokrasi. Ketiga memperkaya partisipasi politik
dan meningkatkan kesadaran kewarganegaraan. Keempat ikut menjaga stabilitas
Negara. Kelima, tempat pimpinan politik dan keenam, menghalangi dominasi rezim
otoriter dan mempercepat runtuhnya rezim.
Untuk menciptakan
masyarakat madani yang kuat dalam konteks pertumbuhan dan perkembangan
demokrasi diperlukan pembentukan Negara secara grandual dengan suatu masyrakat
politik yang demokratis partisipatoris, reflektif dan dewasa yang mampu menjadi
penyeimbang dan control atas kecenderungan eksesif negara. Dalam masyarakat
madani warga Negara sebagai pemilik kedaulatan dan hak untuk mengontrol
pelaksanaan kekuasaan yang mengatasnamakan rakyat, sehingga setiap individu
dalam masyarakat madani memiliki kesempatan untuk memperkuat kemandirian.
Kemandirian
dimaksudkan adalah harus mampu direfleksikan dalam seluruh ruang kehidupan politik,
ekonomi dan budaya, menurut M. Dawam Rahadjo ada beberapa asumsi yang
berkembang. Pertama, demokratisasi bisa berkembang, apabila masyarakat madani
menjadi kuat baik melalui perkembangan dari dalam atau dari diri sendiri.
Kedua, demokratisasi hanya bisa berlangsung apabila peranan negara dikurangi
atau dibatasi tanpa mengurangi efektivitas dan esensi melalui interaksi.
Ketiga, demokrasi bisa berkembang dengan meningkatkan kemandirian independensi
masyarakat madani dari tekanan dan negara.
2.5
Pilar-pilar
Penegak Masyarakat Madani
Pilar
penegak masyarakat madani adalah institusi-institusi yang menjadi bagian
dari social control yang berfungsi mengkritisi kebijakan-kebijakan
penguasa yang diskriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang
tertindas. Dalam penegakan masyarakat madani, pilar-pilar tersebut menjadi
prasyarat mutlak bagi terwujudnya kekuatan masyarakat madani. Pilar-pilar
tersebut antara lain .
1. Lembaga Swadaya Masyarakat
2. Pers
3. Supremasi Hukum
4. Perguruan Tinggi
5. Partai Politik
Lembaga Swadaya Masyarakat, adalah
institusi social yang dibentuk oleh swadaya masyarakat yang tugasnya membantu
dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat, mengadakan pemberdayaan
kepada masyarakat mengenai hal-hal yang signifikan dalam kehidupan sehari-hari,
seperti advokasi, pelatihan dan sosialisasi program-program pembangunan
masyarakat.
Pers, merupakan institusi yang penting
karena memungkinkannya dapat mengkritisi dan menjadi bagian dari social control
yang dapat menganalisa serta mempublikasikan dengan berbagai kebijakan
pemerintah.
Supremasi Hukum, memberi
jaminan dan perlindungan terhadap segala bentuk penindasan individu dan
kelompok yang melanggar norma-norma hukum.
Perguruan Tinggi, merupakan bagian dari
kekuatan social dan masyarakat madani yang bergerak pada jalur moral force untuk
menyalurkan aspirasi masyarakat dan mengkritisi berbagai kebijakan-kebijakan
pemerintah. Perguruan tinggi memiliki tugas utama mencari dan menciptakan
ide-ide alternatif dan konstruktif untuk dapat menjawab masalah yang dihadapi
oleh masyarakat.
Partai Politik, merupakan wahana bagi warga
negara untuk dapat menyalurkan aspirasi politiknya. Partai politik menjadi
prasyarat tegaknya masyarakat madani.
2.6
Masyarakat Madani di
Indonesia
Masyarakat madani jika
dipahami secara sepintas merupakan format kehidupan alternatif yang
mengedepankan semangat demokrasi dan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi
manusia. Hal ini diberlakukan ketika negara sebagai penguasa dan pemerintah
tidak bisa menegakkan demokrasi dan hak-hak asasi manusia dalam menjalankan
roda pemerintahannya. Di sinilah kemudian, konsep masyarakat madani menjadi
alternatif pemecahan, dengan pemberdayaan dan penguatan daya control masyarakat
terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.
Kemungkinan berkembangnya
masyarakat madani di Indonesia diawali dengan kasus-kasus pelanggaran HAM ,
pengekangan kebebasan berpendapat dan mengemukakan pendapat di muka umum
kemudian dilanjutkan dengan munculnya berbagai lembaga-lembaga non pemerintah
yang mempunyai kekuatan.
Selain itu, banyak terjadi
pengambil alihan hak tanah rakyat oleh penguasa dengan alasan pembangunan, juga
merupakan bagian dari penyelewengan dan penindasan. Untuk itu, maka diperlukan
pengembangan masyarakat madani dengan menerapkan strategi pemberdayaannya
sekaligus agar proses pembinaan dan pemberdayaan itu mencapai hasilnya secara
optimal.
Menurut Dawam ada tiga
strategi yang salah satunya dapat digunakan sebagai strategi dalam
memberdayakan masyarakat madani di Indonesia, yaitu :
1.
Strategi yang lebih mementingkan integrasi nasional
dan politik.
2.
Strategi yang lebih mengutamakan reformasi sistem
politik dan demokrasi.
3.
Strategi yang memilih membangun masyarakat madani
sebagai basis kearah demokrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar