Tentang ...

Selasa, 05 Maret 2013

Manusia dan Harapan - Ilmu Budaya Dasar


BAB I
PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang
Setiap manusia pasti memiliki keinginan atau harapan. Keinginan untuk memiliki rumah, misalnya, atau keinginan untuk dapat sekolah setinggi mungkin, keinginan memiliki mobil,dan lain-lain. Harapan atau keinginan seseorang sangat dipengaruhi oleh pengetahuan, lingkungan dan kemampuan.[1] Meskipun terkadang tidak semua yang kita harapkan dan cita-citakan terwujud.
Jalan untuk mewujudkan cita-cita tidaklah mulus. Pasti akan ada hambatan yang harus dilewati. Setiap orang harus siap untuk melalui ujian ini. Gagal atau berhasil adalah pilihan. Setiap orang pasti pernah mengalami kegagalan. Gagal adalah hal yang wajar. Banyak orang yang berulang kali mengalami kegagalan dan akhirnya ia menjadi orang yang berhasil. Ini disebabkan mereka menyikapi kegagalan dengan positif. Mereka tidak menjadikan kegagalan sebagai penghancur cita-cita. Justru dengan kegagalan yang mereka alami, mereka semakin termotivasi untuk berhasil.
Setiap manusia memiliki motivasi dalam hidup. Motivasi dapat diartikan dengan tujuan. Motivasi dapat muncul dari diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Motivasi yang muncul dari diri sendiri sebenarnya lebih kuat jika dibandingkan dengan motivasi yang muncul dari orang lain dan lingkungan. Alasannya, motivasi yang muncul dari diri orang lain cenderung membuat kita bergantung pada orang lain. Begitu pula dengan lingkungan.
Untuk dapat memunculkan motivasi dari diri sendiri adalah dengan meyakini bahwa Allah telah menciptakan manusia berbeda-beda dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kita harus memahami apa yang menjadi kelebihan kita dan memupuk rasa percaya diri agar motivasi itu muncul. Dengan terus memotivasi diri kita dengan kata-kata yang positif, kita akan semakin yakin bahwa kita mampu bangkit dari kegagalan untuk mencapai cita-cita yang kita inginkan.

1.2              Rumusan Masalah
Apa saja yang dibahas dalam makalah yang berjudul “Manusia dan Harapan” ? Pertanyaan tersebut dapat dirinci sebagai berikut :
a.       Apa yang di maksud dengan harapan?
b.      Mengapa manusia memiliki harapan?
c.       Apa hubungan antara manusia dengan harapan?
d.      Apa yang di maksud dengan kepercayaan?
e.       Apa saja sumber motivasi?

1.3              Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk dapat menjawab beberapa pertanyaan yang tercantum dalam rumusan masalah di atas.

1.4              Manfaat
Manfaat dari penyusunan makalah ini di antaranya :
a.         Mahasiswa dapat mengetahui pengertian harapan serta hubungan antara manusia dengan harapan.
b.         Diharapkan agar terbentuknya mahasiswa yang optimis dan mau berusaha untuk mencapai harapannya.
c.         Mahasiswa dapat menjadikan kegagalan sebagai pengalaman.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1              Manusia
Sesungguhnya manusia diciptakan oleh Allah SWT adalah paling sempurna dibandingkan dengan makhluk yang lainnya.[2] Manusia sebagai makhluk individu memiliki unsur jasmani dan rohani, unsur fisik dan psikis, unsur raga dan jiwa. Seseorang dikatakan sebagai manusia individu manakala unsur-unsur tersebut menyatu dalam dirinya. Jika unsur tersebut sudah tidak menyatu lagi maka seseorang tidak disebut sebagai individu. Dalam diri individu ada unsur jasmani dan rohaninya, atau ada unsur fisik dan psikisnya, atau ada unsur raga dan jiwanya.[3]
Manusia atau orang dapat diartikan berbeda-beda menurut biologis, rohani, dan istilah kebudayaan, atau secara campuran. Secara biologis, manusia diklasifikasikan sebagai Homo sapiens (Bahasa Latin untuk manusia), sebuah spesies primata dari golongan mamalia yang dilengkapi otak berkemampuan tinggi. Dalam hal kerohanian, mereka dijelaskan menggunakan konsep jiwa yang bervariasi di mana, dalam agama, dimengerti dalam hubungannya dengan kekuatan ketuhanan atau makhluk hidup; dalam mitos, mereka juga seringkali dibandingkan dengan ras lain. Dalam antropologi kebudayaan, mereka dijelaskan berdasarkan penggunaan bahasanya, organisasi mereka dalam masyarakat majemuk serta perkembangan teknologinya, dan terutama berdasarkan kemampuannya untuk membentuk kelompok dan lembaga untuk dukungan satu sama lain serta pertolongan.[4]
Manusia pada hakikatnya adalah sama dengan mahluk hidup lainnya, yaitu memiliki hasrat dan tujuan. Ia berjuang untuk meraih tujuannya dengan didukung oleh pengetahuan dan kesadaran. Perbedaan diantara keduanya terletak pada dimensi pengetahuan, kesadaran dan keunggulan yang dimiliki manusia dibanding dengan mahluk lain.
Manusia sebagai salah satu mahluk yang hidup di muka bumi merupakan mahluk yang memiliki karakter paling unik. Manusia secara fisik tidak begitu berbeda dengan binatang, sehingga para pemikir menyamakan dengan binatang. Letak perbedaan yang paling utama antara manusia dengan makhluk lainnya adalah dalam kemampuannya melahirkan kebudayaan.[5]

2.2              Harapan
Harapan berasal dari kata harap yang berarti keinginan agar sesuatu hal terjadi atau terwujud.[6] Setiap manusia pasti memiliki harapan atau yang biasa disebut cita-cita. Harapan atau cita-cita pasti dapat tercapai apabila kita selalu mau berusaha dan bersungguh-sungguh, walaupun pada akhirnya Allah yang menentukan.
Prestasi yang tinggi selalu diawali oleh cita-cita yang tinggi.[7] Meskipun sebenarnya lebih banyak ditemukan cita-cita tinggi membuat orang frustasi. Hal ini akan terjadi apabila orang tersebut gagal dalam mencapainya. Manusia akan menjadi kecewa apabila apa yang diharapkannya tidak sesuai dengan kenyataan. Manusia  manusia memang harus memiliki cita-cita yang tinggi akan tetapi manusia juga harus mempersiapkan cita-cita yang lain untuk mengantisipasi kegagalan yang mungkin saja terjadi.
Cita-cita merupakan hal yang sangat penting. Cita-cita merupakan refleksi diri. Cita-cita merupakan suatu gambaran dari diri seseorang tentang sifat, bakat maupun minatnya. Cita-cita juga merupakan tujuan hidup.[8] Besar kecilnya cita-cita seseorang tidak bergantung pada luas atau sempitnya wawasan. Akan tetapi, kepribadianlah yang dapat menentukannya.

Menurut macamnya, ada harapan optimis dan ada harapan pesimis. Harapan yang optimis artinya, sesuatu yang akan terjadi itu sudah memberikan tanda-tanda yang dapat dianalisis secara rasional, bahwa sesuatu yang akan terjadi akan muncul. Dalam harapan yang pesimis, ada tanda-tanda rasional tidak akan terjadi.[9]

2.3              Mengapa manusia memiliki harapan?
Menurut kodratnya, manusia adalah makhluk sosial, yang hidup saling berinteraksi. Terdapat dua dorongan dalam diri manusia untuk saling berinteraksi, yaitu[10] :
·      Dorongan kodrat
Dorongan kodrat adalah sifat, keadaan atau pembawaan alamiah yang sudah ada dalam diri manusia sejak manusia itu diciptakan oleh Allah. Misalnya menangis, bergembira, berpikir, berjalan, berkata, mempunyai keturunan dan sebagainya. Setiap manusia mempunyai kemampuan untuk itu semua.[11]
·      Dorongan kebutuhan hidup
Kebutuhan hidup adalah kebutuhan jasmani dan rohani. Kebutuhan jasmani ialah sandang, pangan dan papan. Sedangkan kebutuhan rohani ialah kebahagiaan, kepuasaan, ketenangan hati, dan sebagainya.[12]

Sehubungan dengan kebutuhan manusia, Abrahan Maslow mengategorikan kebutuhan manusia menjadi lima macam, yang merupakan lima harapan manusia, yaitu :
a.    Harapan untuk memperoleh kelangsungan hidup (survival).
b.    Harapan untuk memperoleh keamanan (safety).
Setiap orang membutuhkan keamanan. Sejak seorang anak lahir ia telah membutuhkan keamanan. Begitu lahir, dengan suara tangis, itu pertanda minta perlindungan. Setelah agak besar, setiap anak menangis dia akan diam setelah dipeluk oleh ibunya. Setelah bertambah besar ia ingin dilindungi. Rasa aman tidak harus diwujudkan dengan perlindungan yang nampak, secara moral pun orang lain dapat memberi rasa aman.[13]
c.    Harapan untuk memperoleh hak dan kewajiban untuk mencintai dan dicintai.
Tiap orang mempunyai hak dan kewajiban. Dengan pertumbuhan manusia maka tumbuh pula kesadaran akan hak dan kewajiban.[14]
d.   Harapan memperoleh status atau untuk diterima atau di akui lingkungan.
Setiap manusia membutuhkan status. Siapa, untuk apa, mengapa manusia hidup. Setiap manusia yang lahir di bumi ini tentu akan bertanya tentang statusnya. Status keberadaannya. Status dalam keluarga, status dalam masyarakat, dan status dalam negara. Status itu penting, karena dengan status orang tahu siapa dia.[15]
e.    Harapan untuk memperoleh perwujudan dan cita-cita (self actualization).[16]
Selanjutnya manusia berharap diakui keberadaannya sesuai dengan keahliannya atau kepangakatannya atau profesinya. Pada saar itu manusia mengembangkan bakat atau kepandaiannya agar ia diterima atau diakui kehebatannya.[17]

2.4              Manusia dan Harapan[18]
Harapan bersifat manusiawi dan dimiliki semua orang. Dalam hubungannya dengan pendidikan moral, untuk mewujudkan harapan diperlukan hal-hal berikut:
a.    Menentukan harapan yang baik
b.   Mengetahui bagaimana mencapai harapan tersebut
c.    Mempersiapkan mental untuk menerima segala kemungkinan

Apabila manusia mengingat bahwa kehidupan tidak hanya di dunia saja namun di akhirat juga, maka sudah selayaknya “harapan” manusia untuk hidup di kedua tempat tersebut bahagia. Dengan begitu manusia dapat menyelaraskan kehidupan antara dunia dan akhirat dan selalu berharap bahwa hari esok lebih baik dari pada hari ini, namun kita harus sadar bahwa harapan tidak selamanya menjadi kenyataan.

2.5              Kepercayaan
Kepercayaan berasal dari kata percaya yang berarti mengakui atau meyakini kebenaran. Kepercayaan dibedakan menjadi empat bagian, yaitu :[19]
a.    Kepercayaan terhadap diri sendiri.
Kepercayaan terhadap diri sendiri perlu ditanamkan pada setiap pribadi manusia. Percaya terhadap diri sendiri pada hakikatnya percaya kepada Allah. Percaya terhadap diri sendiri adalah menganggap diri tidak salah dan yakin dirinya mampu mengerjakan apa yang dipercayakan terhadapnya.
b.    Kepercayaan terhadap orang lain.
Percaya terhadap orang lain dapat berupa percaya kepada orang tua, saudara, guru atau siapa saja.
c.    Kepercayaan terhadap pemerintah.
Karena pada dasarnya negara berorientasi pada Tuhan dan kepentingan rakyat, maka sudah seharusnya sebagai warga negara mempercayai pemerintah.
d.   Kepercayaan terhadap Tuhan.
Percaya terhadap Tuhan adalah hal yang sangat penting karena manusia diciptakan oleh Tuhan. Tuhan tidak dapat menolong umatnya apabila umatnya tidak percaya kepadanya.

2.6              Motivasi[20]
Salah satu sebab mengapa kita disebut manusia adalah karena kita memiliki motivasi. Dalam terminologi religi, motivasi dipahami sebagai niat. Motivasi dapat datang dari diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Walaupun pada kenyataanya, orang lebih banyak termotivasi oleh orang lain dan lingkungan. Sebenarnya, ini akan membuat kita menjadi sangat bergantung terhadap hal tersebut. Motivasi yang datang dari diri sendiri lebih kuat dan akan lebih bertahan apabila dibandingkan dengan motivasi yang datang dari orang lain dan lingkungan.

Adapun sumber motivasi menurut Satria Hadi Lubis, adalah :[21]
a.     Visualisasi
Visualisasi membuat seseorang membayangkan tujuan atau hasil usahanya dengan jelas dan detail.
b.    Tanggungjawab
Tanggungjawab merupakan sumber pemicu motivasi.
c.     Kenyamanan
d.    Gerakan
 
BAB III
PENUTUP

3.1       Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan :
a.    Harapan berarti keinginan agar sesuatu hal terjadi atau terwujud.
b.    Manusia adalah makhluk sosial, yang hidup saling berinteraksi, dan terdapat dua dorongan dalam diri manusia untuk saling berinteraksi, yaitu dorongan kodrat dan dorongan kebutuhan hidup.
c.    Harapan bersifat manusiawi dan dimiliki semua orang.
d.   Kepercayaan berarti mengakui atau meyakini kebenaran.
e.    Sumber motivasi adalah visualisasi, tanggungjawab, kenyamanan dan gerakan.

3.2       Saran
Penulis menyadari dalam pembuatan makalah ini tidaklah sempurna dan masih banyak yang harus diperbaiki. Oleh karena itu, penulis memohon saran dan kritik yang membangun dari pembaca agar untuk di kemudian hari penulis dapat menyusun makalah yang lebih baik lagi. Semoga makalah ini bermanfaat untuk semua pihak.
 
DAFTAR PUSTAKA


Ahmad Mustofa, Ilmu Budaya Dasar., (Bandung : Pustaka Setia)., 1999., hal. 170

Ramdani Wahyu, Ilmu Budaya Dasar., (Bandung : Pustaka Setia)., 2008., hal. 194

Munandar Soelaeman, Ilmu Budaya Dasar., (Bandung : Refika ADITAMA)., 2007., hal.106

Jumadi Subur, 99 ideas for happy life., (Bandung : ZIP BOOKS)., 2008., hal.8










[6] Ahmad Mustofa, Ilmu Budaya Dasar., (Bandung : Pustaka Setia)., 1999., hal. 170
[7] Ramdani Wahyu, Ilmu Budaya Dasar., (Bandung : Pustaka Setia)., 2008., hal. 194
[8] Ibid., hal. 197
[9] Munandar Soelaeman, Ilmu Budaya Dasar., (Bandung : Refika ADITAMA)., 2007., hal.106
[11] Ibid.
[12] Ahmad Mustofa, Op.Cit., hal. 171
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[19] Ahmad Mustofa, Op.Cit., hal. 171
[20] Jumadi Subur, 99 ideas for happy life., (Bandung : ZIP BOOKS)., 2008., hal.8
[21] Ibid.

Masyarakat Madani



BAB II
PEMBAHASAN

2.1         Pengertian Masyarakat Madani
Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam Kamus Bahasa Arab karangan Prof. Mahmud Yunus, “MADANI” artinya orang kota atau orang sipil. “membangun suasana hidup perkotaan”, bahasa Arabnya adalah maddana – yumaddinu – tamdiinaan.
Namun, di tengah-tengah masyarakat lebih popular dengan sebutan “madani”. Munculnya istilah Masyarakat Madani, bersamaan dengan saat-saat menjelang berakhirnya pemerintahan Orde Baru pimpinan Soeharto. Mula-mula adalah dari tokoh PARAMADINA. Salah seorang yang sering menggunakan istilah ini adalah Prof. Dr. H. Emil Salim, yang sempat mencalonkan diri menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia mendampingi pencalonan Prof. Dr. B. J. Habibi.
Istilah ini semakin populer pada masa lengsernya Presiden Soeharto dan pertama kali dimunculkan dalam Sidang Umun MPR Era Reformasi. Masyarakat madani sangat identik dengan masyarakat kota yang mempunyai perangai dinamis, sibuk, berpikir logis, berpola hidup praktis, berwawasan luas dan mencari terobosan baru didukung dengan mental akhlakul karimah.
Masyarakat madani, merupakan penerjemahan istilah dari konsep civil society yang pertama kali digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim pada tanggal 26 September 1995. Menurut beliau, masyarakat madani merupakan sistem sosial yang subur yang diasaskan pada prinsip moral.
Menurut Zbigniew Rau, masyarakat madani adalah masyarakat yang berkembang yang mengandalkan ruang di mana individu dan perkumpulan tempat mereka bergabung, bersaing, guna mencapai nilai-nilai yang mereka yakini.
Menurut Han Sung-joo, masyarakat madani adalah sebuah kerangka hukum yang melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu. Sedangkan menurut Kim Sunhyuk, masyarakat madani adalah suatu kesatuan yang terdiri dari kelompok-kelompok secara mandiri.

2.2         Karakteristik Masyarakat Madani
Penyebutan karakteristik masyarakat madani dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa dalam merealisasikan wacana masyarakat madani diperlukan prasyarat-prasyarat yang menjadi nilai universal dalam penegakan masyarakat madani. Prasyarat ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain atau hanya mengambil salah satunya saja, melainkan merupakan satu kesatuan yang integral yang menjadi dasar dan nilai bagi eksistensi masyarakat madani.
Karakteristik tersebut antara lain adalah :
a.         Free Public Sphere
Yang dimaksud dengan free public sphere adalah adanya ruang publik yang bebas sebagai sarana dalam mengemukakan pendapat. Pada ruang publik yang bebaslah individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan transaksi-transaksi wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran. Aksentuasi prasyarat ini dikemukakan oleh Arendt dan Habermas. Lebih lanjut dikatakan bahwa ruang publik secara teoritis bisa diartikan sebagai wilayah dimana masyarakat sebagai warga negara memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik. Warga negara berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul serta mempublikasikan informasi kepada publik.
Sebagai sebuah prasyarat maka, untuk mengembangkan dan mewujudkan masyarakat madani dalam sebuah tatanan masyarakat, maka free public sphere menjadi salah satu bagian yang harus diperhatikan. Karena dengan menafikan adanya ruang publik yang bebas dalam tatanan masyarakat madani, maka akan memungkinkan terjadinya pembungkaman kebebasan warga negara dalam menyalutkan aspirasinya yang berkenaan dengan kepentingan umum olrh penguasa yang tiranik dan otoriter.
b.        Demokratis
Demokratis merupakan ciri entitas yang menjadi penegak wacana masyarakat madani, dimana dalam menjalani kehidupan, warga negara memiliki kebebasan penuh untuk menjalankan aktivitas kesehariannya, termasuk dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Demokratis berarti masyarakat dapat berlaku santun dalam pola hubungan interaksi dengan masyarakat sekitarnya dengan tidak mempertimbangkan suku, ras dan agama. Prasyarat demokratis ini banyak dikemukakan oleh para pakar yang mengkaji fenomena masyarakat madani. Bahkan denokrasi merupakan salah satu syarat mutlak bagi penegakan masyarakat madani. Penekanan demokrasi (demokratis) di sini dapat mencakup berbagai bentuk aspek kehidupan seperti politik, sosial, budaya, pendidikan, ekonomi, dan sebagainya.

c.         Toleran
Toleran merupakan sikap yang dikembangkan dalam masyarakat madani untuk menunjukkan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan orang lain. Toleransi ini memungkinkan akan adanya kesadaran masing-masing individu untuk menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh kelompokmasyarakat lain yang berbeda. Toleransi – menurut Nurcholish Madjid – merupakan persoalan ajaran dan kewajiban melaksanakan ajaran itu. Jika toleransi menghasilkan adanya tata cara pergaulan yang “enak” antara berbagai kelompok yang berbeda-beda, maka hasil itu harus dipahami sebagai “hikmah” atau “manfaat” dari pelaksanaan ajaran yang benar. Azyumardi azra pun menyebutkan bahwa masyarakat madani (civil society) lebih darri sekadar gerakan-gerakan pro demokrasi. Civilitas meniscayakan toleransi, yakni kesediaan individu-individu untuk menerima pandangan-pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda.

d.        Pluralisme
Prasyarat penegakan masyarakat madani, maka pluralisme harus dipahami secara mengakar dengan menciptakan sebuah tatanan kehidupan yang menghargai dan menerima kemajemukan dalam konteks kehidupan sehari-hari. Pluralisme tidak bisa dipahami hanya dengan sikapyang tulus untuk menerima kenyataan pluralisme itu sebagai bernilai positif, merupakan rahmat Tuhan. Menurut Nurcholish Madjid, konsep pluralisme ini merupakan prasyarat bagi tegaknya masyarakat madani. Pluralisme menurutnya adalah pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engangement of diversities within the bonds of civility). Bahkan pluralisme juga adalah suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia  antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan (check and balance). Lebih lanjut Nurcholish mengatakan bahwa sikap penuh pengertian kepada orang lain itu diperlukan dalam masyarakat yang majemuk, yakni masyarakat uang tidak monopolitik. Apalagi sesungguhnya kemajemukan masyarakat itu sudah merupakan dekrit Allah dan design-Nya untuk umat manusia. Jadi tidak ada masyarakat yang tunggal, monolitik, sama, dan sebangun dalam segala segi.

e.         Keadilan Sosial
Keadilan dimaksudkan untuk menyebutkan keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Hal ini memungkinkan tidak adanya monopoli dan pemusatan salah satu aspek kehidupan pada satu kelompok masyarakat. Secara esensial, masyarakat memiliki hak yang sama dalam memperoleh kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah (penguasa).



2.3         Sejarah Perkembangan Masyarakat Madani
Wacana masyarakat madani merupakan konsep pergolakan politik yang berasal dari pergolakan politik dan sejarah masyarakat Eropa Barat yang mengalami proses transformasi dari pola kehidupan feodal menuju kehidupan masyarakat industri kapitalis. Jika dicari akar sejarahnya dari awal, maka perkembangan wacana masyarakat madani dapat dirunut mulai dari Cicero sampai pada Antonio Gramsci dan de’Tocquiville. Bahkan menurut Manfred Ridel, Cohen dan Arato serta M. Dawam Rahardjo, wacana masyarakat madani sudah mengemuka pada masa Aristoteles.
Pada masa ini (Aristoteles, 382-322 SM) masyarakat madani dipahami sebagai sistem kenegaraan dengan menggunakan istilah koinonia politike, yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai percaturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan. Istilah koinonia politike yang dikemukakan Aristoteles ini digunakan untuk menggambarkan sebuah masyarakat politis dan etis dimana warga negara didalamnya berkedudukan sama di depan hukum. Hukum sendiri dianggap etos, yakni seperangkat nilai yang disepakati tidak hanya berkaitan dengan prosedur politik, tetapi juga sebagai substansi dasar kebijakan (virtue) dari barbagai bentuk interaksi di antara warga negara.
Konsep Aristoteles ini diikuti oleh Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) dengan istilah societies civilies, yaitu sebuah komunitas yang mendominasi komunitas yang lain. Istilah yang dikedepankan oleh Cicero ini lebih menekankan pada konsep negara kota (city-state), yakni untuk menggambarkan kerajaan, kota, dan bentuk korporasi lainnya, sebagai kesatuan yang terorganisasi. Konsepsi masyarakat madani yang aksentuasinya pada sistem kenegaraan ini dikembangkan pula oleh Thomas Hobbes (1588-1679 M) dan Jhon Locke (1632-1704).
Menurut Hobbes, masayarakat madani harus memiliki kekuasan mutlak, agar mampu sepenuhnya mengontrol dan mengawasi secara ketat pola-pola interaksi (perilaku politik) setiap warga negara. Sementara menurut Jhon Locke, kehadiran masyarakat madani dimaksudkan untuk melindungi kebebasan dan hak milik setiap warga negara. Konsekuensinya adalah, masyarakat madani tidak boleh absolut dan harus membatasi perannya pada wilayah yang tidak bisa dikelola masyarakat dan memberikan ruang yang manusiawi bagi warga negara untuk memperoleh haknya secara adil dan proporsional.
Pada tahun 1767, wacana masyarakat madani ini dikembangkan oleh Adam Ferguson dengan mengambil konteks sosio-kultural dan politik Skotlandia. Ferguson menekankan masyarakat madani pada sebuah visi etis dalam kehidupan bermasyarakat. Pemahamannya ini digunakan untuk mengantisipasi perubahan sosial yang diakibatkan oleh evolusi dan munculnya kapitalisme serta mencoloknya perbedaan antara publik dan individu. Dengan konsepnya ini, Ferguson berharap bahwa publik memiliki spirit untuk menghalangi munculnya kembali despotisme, karena dalam masyarakat madani itulah solidaritas muncul dan diilhami oleh sentimen moral dan sikap saling menyayangi serta saling mempercayai antar warga negara secara ilmiah.
Kemudian pada tahun 1792, muncul wacana masyarakat madani yang memiliki aksentuasi yang berbeda dengan sebelumnya. Konsep ini dimunculkan oleh Thomas Paine (1737-1803) yang menggunakan instilah masyarakat madani sebagai kelompok masyarakat yang memiliki posisi secara diametral dengan negara, bahkan diangapnya sebagai anti tesis darri negara. Dengan demikian, maka negara harus dibatasi sampai sekecil-kecilnya dan ia merupakan perwujudan dari delegasi kekuasaan yang diberikan oleh masyarakat demi tercuptanya kesejahteraan umum. Dengan demikian, maka masyarakat madani menurut Paine ini adalah ruang dimana warga dapat mengembangkan kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan kepentingannya secara bebas dan tanpa paksaan. Paine mengidealkan terciptanya suatu ruang gerak yang menjadi domain masyarakat, dimana intervensi negara didalamnya merupakan aktivitas yang tidak sah dan tidak dibenarkan. Oleh karenanya, maka masyarakat madani harus lebihh kuat dan mampu mengontrol negara demi kebutuhannya.
Perkembangan civil society selanjutnya dikembangkan oleh G.W.F. Hegel (1770- 1831 M), Karl Marx (1818-1883 M) dan Antonio Gramsci (1891-1837 M). Wacana masyarakat madani yang dikembangkan oleh ketiga tokoh ini menekankan pada masyarakat madani sebagai ideologi kelas dominan. Pemahaman ini lebih merupakan sebuah reaksi dari model pemahaman yang dilakukan oleh Paine (yang menganggap masyarakat madani sebagai bagian terpisah dari negara).
Menurut Hegel masyarakat madani merupakan kelompok subordinatif dari negara. Pamahaman ini, menurut Ryas Rasyid erat kaitannya dengan fenomena masyarakat borjuis Eropa (burgerlische gesselschaft) yang pertumbuhannya ditandai dengan perjuangan melepaskan diri dari dominasi negara.
Karl Marx memahami masyarakat madani sebagai “masyarakat borjuis” dalam konteks hubungan produksi kapitalis, keberadaannya merupakan kendala bagi pembebasan manusia dari penindasan. Karenanya, maka ia harus dilenyapkan untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas.
Sementara Antonio Gramsci tidak memahami memahami masyarakat madani sebagai relasi produksi, tetapi lebih pada sisi ideologis. Bila Marx menempatkan masyarakat madani pada basis material, maka Gramsci meletakkannya pada superstruktur, berdampingan dengan negara yang ia sebut sebagai political society. Masyarakat madani merupakan tempat perebutan posisi hagemonik di luar kekuatan negara. Di dalamnya aparat hagemoni mengembangkan hagemoni untuk membentuk konsensus dalam masyarakat.
Pemahaman Gramsci memberikan tekanan pada kekuatan cendekiawan yang merupakan aktor utama dalam proses perubahan sosial dan politik. Gramsci dengan denikian melihat adanya siat kemandirian dan politis pada masyarakat madani, sekalipun pada instansi terakhir ia juga amat dipengaruhi oleh basis material (ekonomi).
Periode berikutnya, wacana masyarakat madani dikembangakan oleh Alexis de‘Tocquiville (1805-1859 M) yang berdasarkan pada pengalaman demokrasi di Amerika, dengan mengembangkan teori masyarakat madani seagai entitas penyeimbang kekuatan negara. Bagi de’Tocquiville, kekuatan politik dan masyarakat madani-lah yang menjadikan demokrasi di Amerika mempunyai daya tahan. Dengan terwujudnya pluralitas, kemandirian dan kapasitas politik di dalam masyarakat madani, maka warga Negara akan mampu mengimbangi dan mengontrol kekuatan negara.
Dari berbagai model pengembangan masyarakat madani diatas, model Gramsci dan Tocquiville-lah yang menjadi inspirasi gerakan pro-demokrasi di Eropa Timur dan Tengah pada sekitar akhir dasawarsa 80-an. Pengalaman Eropa Timur dan Tengah tersebut membuktikan bahwa justru dominasi negara atas masyarakatlah yang melumpuhkan kehidupan sosial mereka.
Hal ini berarti bahwa gerakan membangun masyarakat madani menjadi perjuangan untuk membangun harga diri mereka sebagai warga negara. Gagasan tentang masyarakat madani kemudian menjadi semacam landasan ideologis untuk membebaskan diri dari cengkraman Negara yang secara sistematis melemahkan daya kreasi dan kemandirian masyarakat

2.4         Masyarakat Madani dan Demokratisasi
Hubungan antara masyarakat madani dengan demokrasi, menurut Dawam bagaikan dua sisi mata uang, yang keduanya bersifat KO-eksistensi. Menurut masyarakat madani merupakan “rumah” persemian demokrasi, perlembang demokrasinya adalah pemilihan umum yang bebas dan rahasia.
Larry Diamond secara sistematis menyebutkan enam kontribusi masyrakat madani terhadap proses demokrasi; pertama, ia menyediakan wahana sumber daya politik, ekonomi, kebudayaan dan moral untuk mengawasi dan menjaga keseimbangan pejabat Negara. Kedua, pluraisme dalam masyarakat madani, bila diorganisir akan mejadi dasar yang penting bagi persaingan demokrasi. Ketiga memperkaya partisipasi politik dan meningkatkan kesadaran kewarganegaraan. Keempat ikut menjaga stabilitas Negara. Kelima, tempat pimpinan politik dan keenam, menghalangi dominasi rezim otoriter dan mempercepat runtuhnya rezim.
Untuk menciptakan masyarakat madani yang kuat dalam konteks pertumbuhan dan perkembangan demokrasi diperlukan pembentukan Negara secara grandual dengan suatu masyrakat politik yang demokratis partisipatoris, reflektif dan dewasa yang mampu menjadi penyeimbang dan control atas kecenderungan eksesif negara. Dalam masyarakat madani warga Negara sebagai pemilik kedaulatan dan hak untuk mengontrol pelaksanaan kekuasaan yang mengatasnamakan rakyat, sehingga setiap individu dalam masyarakat madani memiliki kesempatan untuk memperkuat kemandirian.
Kemandirian dimaksudkan adalah harus mampu direfleksikan dalam seluruh ruang kehidupan politik, ekonomi dan budaya, menurut M. Dawam Rahadjo ada beberapa asumsi yang berkembang. Pertama, demokratisasi bisa berkembang, apabila masyarakat madani menjadi kuat baik melalui perkembangan dari dalam atau dari diri sendiri. Kedua, demokratisasi hanya bisa berlangsung apabila peranan negara dikurangi atau dibatasi tanpa mengurangi efektivitas dan esensi melalui interaksi. Ketiga, demokrasi bisa berkembang dengan meningkatkan kemandirian independensi masyarakat madani dari tekanan dan negara.

2.5         Pilar-pilar Penegak Masyarakat Madani
Pilar penegak masyarakat madani adalah institusi-institusi yang menjadi        bagian dari social control yang berfungsi mengkritisi kebijakan-kebijakan penguasa yang diskriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas. Dalam penegakan masyarakat madani, pilar-pilar tersebut menjadi prasyarat mutlak bagi terwujudnya kekuatan masyarakat madani. Pilar-pilar tersebut antara lain .
1.    Lembaga Swadaya Masyarakat
2.    Pers
3.    Supremasi Hukum
4.    Perguruan Tinggi
5.    Partai Politik

Lembaga Swadaya Masyarakat, adalah institusi social yang dibentuk oleh swadaya masyarakat yang tugasnya membantu dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat, mengadakan pemberdayaan kepada masyarakat mengenai hal-hal yang signifikan dalam kehidupan sehari-hari, seperti advokasi, pelatihan dan sosialisasi program-program pembangunan masyarakat.
Pers, merupakan institusi yang penting karena memungkinkannya dapat mengkritisi dan menjadi bagian dari social control yang dapat menganalisa serta mempublikasikan dengan berbagai kebijakan pemerintah.
          Supremasi Hukum, memberi jaminan dan perlindungan terhadap segala bentuk penindasan individu dan kelompok yang melanggar norma-norma hukum.
Perguruan Tinggi, merupakan bagian dari kekuatan social dan masyarakat madani yang bergerak pada jalur moral force untuk menyalurkan aspirasi masyarakat dan mengkritisi berbagai kebijakan-kebijakan pemerintah. Perguruan tinggi memiliki tugas utama mencari dan menciptakan ide-ide alternatif dan konstruktif untuk dapat menjawab masalah yang dihadapi oleh masyarakat.
Partai Politik, merupakan wahana bagi warga negara untuk dapat menyalurkan aspirasi politiknya. Partai politik menjadi prasyarat tegaknya masyarakat madani.

2.6         Masyarakat Madani di Indonesia
Masyarakat madani jika dipahami secara sepintas merupakan format kehidupan alternatif yang mengedepankan semangat demokrasi dan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Hal ini diberlakukan ketika negara sebagai penguasa dan pemerintah tidak bisa menegakkan demokrasi dan hak-hak asasi manusia dalam menjalankan roda pemerintahannya. Di sinilah kemudian, konsep masyarakat madani menjadi alternatif pemecahan, dengan pemberdayaan dan penguatan daya control masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.
Kemungkinan berkembangnya masyarakat madani di Indonesia diawali dengan kasus-kasus pelanggaran HAM , pengekangan kebebasan berpendapat dan mengemukakan pendapat di muka umum kemudian dilanjutkan dengan munculnya berbagai lembaga-lembaga non pemerintah yang mempunyai kekuatan.
Selain itu, banyak terjadi pengambil alihan hak tanah rakyat oleh penguasa dengan alasan pembangunan, juga merupakan bagian dari penyelewengan dan penindasan. Untuk itu, maka diperlukan pengembangan masyarakat madani dengan menerapkan strategi pemberdayaannya sekaligus agar proses pembinaan dan pemberdayaan itu mencapai hasilnya secara optimal.
Menurut Dawam ada tiga strategi yang salah satunya dapat digunakan sebagai strategi dalam memberdayakan masyarakat madani di Indonesia, yaitu :
1.    Strategi yang lebih mementingkan integrasi nasional dan politik.
2.    Strategi yang lebih mengutamakan reformasi sistem politik dan demokrasi.
3.    Strategi yang memilih membangun masyarakat madani sebagai basis kearah demokrasi.