Tentang ...

Sabtu, 27 April 2013

KISAH NADHIM

KISAH NADHIM


Malam ini hujan turun dengan derasnya. Seolah turut berduka atas kembalinya Ayah kepada Sang Pemilik nyawa. Air mata jatuh tak terbendung. Kembali teringat raut wajah Ayah yang ramah namun tegas. Semua bersedih. Tetangga mulai berdatangan ke rumah kami. Mereka ikut menangis. Ayah dikenal warga yang baik. Beliau ramah pada siapapun. Semua menghormatinya. Tak ada yang menyangka Ayah akan pulang secepat ini. Penyakit jantung telah merenggut nyawanya. Tapi kami yakin inilah yang terbaik. Ayah tidak akan lagi tersiksa dengan penyakitnya.

            Masih terbayang jelas saat Ayah memberiku motor baru beberapa hari yang lalu sebagai hadiah kelulusanku dari SMA. Ayah tampak sangat sehat. Tak ada tanda-tanda beliau sakit. Hanya saja hari itu memang lain dari biasanya. Ayah berulang kali memeluk, mencium dan mengusap-usap rambutku. Hal yang sangat jarang terjadi. Ayah juga berkali-kali menasihatiku agar selalu menjaga Bunda dan Kak Dira yang sedang hamil. Tak ku sangka itulah amanat terakhir Ayah padaku.

Sebulan setelah kepergian Ayah, kehidupan berjalan seperti biasanya. Walaupun sangat terasa sepi dan tak sehangat saat Ayah masih ada. Tak lama lagi Kak Dira akan melahirkan anak pertama. Kasihan Ayah, beliau tidak sempat melihat cucu pertamanya. Padahal Ayah sangat menunggu-nunggu kehadiran seorang cucu.

Akhirnya, keponakanku lahir. Laki-laki. Aku sangat senang, terlebih Bunda. Bunda selalu menggendongnya sambil tersenyum.

“Sayang sekali, Opa udah nggak ada.. Opa kamu nggak sempat liat kamu, cucu pertamanya..” kata Bunda

Aku dan Kak Dira saling berpandangan. Kami tau Bunda sangat sedih.

“Mau tinggal dimana nanti, Dir?” tanya Bunda kemudian.

“Sama Kak Rio, Bun.. Hm..nggak apa-apa kan?” jawab Kak Dira.

Bunda hanya mengangguk.

***

Ini adalah hari pertama aku merasakan duduk di bangku kuliah. Kini aku adalah seorang mahasiswa. Mahasiswa kedokteran. Jurusan yang benar-benar aku inginkan. Ku jalani perkuliahan dengan baik. Agar kelak aku menjadi dokter seperti cita-citaku selama ini. Setelah lulus, aku akan menikah dan langsung mengambil spesialis. Mungkin masih sangat jauh. Tapi begitulah rencana hidupku.

Sepulang kuliah, aku banyak menghabiskan waktu di perpustakaan. Setelah cukup jenuh, aku pulang. Jarak dari rumahku ke kampus tidak terlalu jauh, dengan waktu satu jam menggunakan motor aku akan sampai di kampus. Sehingga aku tidak perlu menjadi anak kost-an. Aku juga harus menjaga Bunda. Seperti pesan Ayah.

Tiga bulan sudah aku kuliah. Tapi entah mengapa akhir-akhir ini setiap kali pulang kuliah, aku sering melihat dua orang laki-laki bertubuh besar keluar dari rumahku. Ku tanyakan pada Bunda, Bunda hanya menjawab itu pegawai Ayah dari kantor. Sedikit tidak percaya. Siapa mereka? Aku tau Bunda menyembunyikan sesuatu. Namun, aku tidak berani memaksa menanyakan hal itu pada Bunda.

***

Rumah kami disita. Bunda masih tidak mau banyak bercerita. Aku bingung. Kak Dira tinggal bersama suami dan anaknya di Kalimantan. Ingin ku hubungi mereka, tapi Bunda melarang. Bunda tidak ingin Kak Dira khawatir. Aku mengerti. Aku bingung. Benar-benar bingung. Aku hanya yakin ini ada hubungannya dengan dua orang pria yang sering dating ke rumahku. Aku yakin.

Akhirnya kami tinggal di kontrakan. Tak tau apa yang ada di benak para tetangga. Mungkin mereka pun tidak percaya ini terjadi pada keluarga kami. Ini seperti sebuah mimpi buruk. Tiba-tiba aku ingat pada kuliahku. Bagaimana sekarang? Biaya kuliah..jurusan kedokteran.. Aku merasa pusing memikirkannya. Yang penting sekarang kami sudah mendapat tempat berteduh.

“Maafkan Bunda, Nak..” kata Bunda.

“Sebenarnya ada apa, Bun? Aku udah kuliah, apa aku belum cukup dewasa untuk tau semuanya?” tanyaku.

Bunda hanya menggelengkan kepala dan menangis. Mungkin kata-kataku menyakitinya.

Maafin Nadim, Bun..”

Bunda diam.

***

Hanya aku dan Bunda yang ada di rumah ini. Rumah kontrakan. Sudah tiga hari aku tidak kuliah. Aku masih harus menenangkan diri. Terutama Bunda. Aku harus menjaga Bunda. Bunda tidak mau makan. Bunda hanya diam dan menangis. Aku takut. Aku takut Bunda sakit. Aku tau ini begitu di luar dugaan. Ini terlalu cepat. Keadaan berubah total.

Kami yang semula tinggal di rumah mewah, makan selalu enak, tidur selalu nyaman, apapun selalu terpenuhi, kini terbalik. Tempat tinggal kami sempit. Makan hanya mie instan. Tidur di atas tikar. Sungguh terbalik. Ku peluk Bunda untuk menenangkannya walau sekejap. Dadaku sesak menahan tangis. Demi Bunda, aku harus bertahan. Aku harus lebih kuat dan tegar.

“Bun, aku nggak mau kuliah lagi..” kataku.

Bunda kaget. “Tidak! Kamu harus tetap kuliah. Kamu malu?” tanya Bunda.

Aku menggeleng.

“Lalu?”

“Aku cuma nggak mau ninggalin Bunda. Aku nggak bisa ninggalin Bunda kalau Bunda terus seperti ini..” jawabku.

Bunda menugusap air matanya. “Kamu harus kuliah, ingat itu! Jangan hanya karena hidup kita sekarang begini kamu berhenti. Untuk masuk kedokteran itu susah, mahal. Ayah yang membiayai kamu masuk kuliah kan? Sekarang kamu mau berhenti begitu saja?” tanya Bunda.

Aku hanya diam. Mulai terlihat wajah Ayah dipikiranku.

“Kamu nggak akan menyia-nyiakan pemberian Ayah kan?” tanya Bunda lagi.

Aku mengangguk.

“Besok kamu harus masuk kuliah.” kata Bunda.

Ku peluk Bunda.



***

            Pagi ini aku bersiap-siap untuk berangkat ke kampus lebih pagi, mengingat motorku sudah terjual untuk membayar kontrakan dan sisanya ditabung. Bunda sekarang mulai bangkit dari kesedihannya. Bunda akan mencari pekerjaan hari ini. Mudah-mudahan Allah memberikan kemudahan  pada kami, kataku dalam hati.

Aku pun naik angkutan umum. Ternyata begini rasanya ke kampus naik angkutan umum. Panas, macet, sesak, asap rokok dimana-mana. Selama ini aku terbiasa naik motor atau diantar oleh Ayah menggunakan mobil. Ayah… Ayah... Aku rindu Ayah... Sembilan puluh menit. Setelah sembilah puluh menit menikmati suasana angkutan umum, aku pun sampai di kampus. Penuh keringat.

“Kenapa kusut gitu? Mana motornya?” tanya Nadia.

Aku diam. Aku yakin dia akan menjauhiku. Setelah beberapa kali ku dekati, dia memberi respon. Tapi kini aku malu. Malu dengan keadaanku.

“Mana motornya, Dim?” tanyanya lagi.

Aku masih diam.

“Nadim jawab..mana motornya? Kenapa kamu kusut gitu?”

Aku tetap diam. Nadia pun pergi. Aku tau dia marah. Biarlah.



***

Jam kuliah habis. Aku tidak lagi ke perpustakaan seperti biasanya. Aku langsung pulang. Aku ingin melamar kerja. Aku naik angkutan umum lagi. Sangat macet. Panas. Aku duduk dekat pintu agar terkena angin. Ku lihat lampu merah menyala. Tiba-tiba dua orang anak kecil menghampiri menyanyikan lagu dengan alat musik dari tutup botol. Kasihan mereka. Ku beri uang seribu, mereka terlihat sangat senang.

Setelah dua anak itu pergi, terlintaslah dibenakku akan suatu hal. Aku tersenyum. Tak sabar ingin bertemu Bunda. Apa Bunda sudah dapat pekerjaan? Tanyaku dalam hati.

Bunda belum pulang. Aku pun pergi. Mencoba bekerja.

Pukul 18.00 aku pulang ke rumah. Bunda sedang memasak nasi goreng.

Udah dapet, Bun?” tanyaku.

Bunda mengangguk.

“Apa?” tanyaku lagi.

“Pembantu..” jawab Bunda.

“Pembantu?” aku kaget.

“Kenapa? Itu halal kan?” tanya Bunda.

Aku mengangguk. Pembantu..kenapa harus jadi pembantu..kataku dalam hati. Bunda menghampiriku.

“Kerja apa saja yang penting halal, sekarang jangan gengsi lagi..” kata Bunda.

Aku tersenyum. Ku ambil uang yang ada di saku jaketku. Ku berikan pada Bunda.

“Apa ini?” tanya Bunda.

“Untuk Bunda..” jawabku sambil tersenyum.

“Kamu bekerja?” yanta Bunda.

Aku mengangguk.

“Kerja apa, Nak?”

“Itu tidak penting, yang penting itu halal..”

Bunda memelukku.



***

Kak Dira akhirnya tau apa yang terjadi pada keluarga kami. Kak Dira marah karena kami tidak mengabarkannya. Kak Dira hanya dapat mengirimkan kami uang setiap bulan untuk memenuhi kebutuhan kuliahku. Kakak hanya ingin aku tidak berhenti kuliah agar aku tetap bisa menjadi dokter dan mengembalikan apa yang pernah ada.

Aku sudah tidak mau bertanya pada Bunda tentang apa yang sebenarnya terjadi. Aku akan menunggu sampai Bunda menceritakannya padaku. Kini aku pun sudah terbiasa sepulang kuliah langsung bekerja. Uang yang ku dapat langsung ku serahkan pada Bunda. Bunda masih belum tau aku bekerja sebagai apa dan dimana. Aku tidak ingin Bunda tau. Sampai pada saat dimana aku mulai bernyanyi di salah satu angkutan umum, seseorang memberiku uang sepuluh ribu. Aku kaget. Saat ku lihat, ibu-ibu tersenyum kepadaku. Bunda?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar