Malam ini hujan turun dengan derasnya. Seolah turut
berduka atas kembalinya Ayah kepada Sang Pemilik nyawa. Air mata jatuh tak
terbendung. Kembali teringat raut wajah Ayah yang ramah namun tegas. Semua
bersedih. Tetangga mulai berdatangan ke rumah kami. Mereka ikut menangis. Ayah
dikenal warga yang baik. Beliau ramah pada siapapun. Semua menghormatinya. Tak
ada yang menyangka Ayah akan pulang secepat ini. Penyakit jantung telah merenggut
nyawanya. Tapi kami yakin inilah yang terbaik. Ayah tidak akan lagi tersiksa
dengan penyakitnya.
Masih
terbayang jelas saat Ayah memberiku motor baru beberapa hari yang lalu sebagai
hadiah kelulusanku dari SMA. Ayah tampak sangat sehat. Tak ada tanda-tanda
beliau sakit. Hanya saja hari itu memang lain dari biasanya. Ayah berulang kali
memeluk, mencium dan mengusap-usap rambutku. Hal yang sangat jarang terjadi.
Ayah juga berkali-kali menasihatiku agar selalu menjaga Bunda dan Kak Dira yang
sedang hamil. Tak ku sangka itulah amanat terakhir Ayah padaku.
Sebulan setelah kepergian Ayah,
kehidupan berjalan seperti biasanya. Walaupun sangat terasa sepi dan tak
sehangat saat Ayah masih ada. Tak lama lagi Kak Dira akan melahirkan anak
pertama. Kasihan Ayah, beliau tidak sempat melihat cucu pertamanya. Padahal
Ayah sangat menunggu-nunggu kehadiran seorang cucu.
Akhirnya, keponakanku lahir. Laki-laki.
Aku sangat senang, terlebih Bunda. Bunda selalu menggendongnya sambil
tersenyum.
“Sayang sekali, Opa udah nggak ada.. Opa kamu nggak
sempat liat kamu, cucu pertamanya..” kata Bunda
Aku dan Kak Dira saling berpandangan.
Kami tau Bunda sangat sedih.
“Mau tinggal dimana nanti, Dir?” tanya
Bunda kemudian.
“Sama Kak Rio, Bun.. Hm..nggak apa-apa kan?” jawab Kak Dira.
Bunda hanya mengangguk.
***
Ini adalah hari pertama aku merasakan
duduk di bangku kuliah. Kini aku adalah seorang mahasiswa. Mahasiswa kedokteran.
Jurusan yang benar-benar aku inginkan. Ku jalani perkuliahan dengan baik. Agar
kelak aku menjadi dokter seperti cita-citaku selama ini. Setelah lulus, aku
akan menikah dan langsung mengambil spesialis. Mungkin masih sangat jauh. Tapi
begitulah rencana hidupku.
Sepulang kuliah, aku banyak menghabiskan
waktu di perpustakaan. Setelah cukup jenuh, aku pulang. Jarak dari rumahku ke
kampus tidak terlalu jauh, dengan waktu satu jam menggunakan motor aku akan
sampai di kampus. Sehingga aku tidak perlu menjadi anak kost-an. Aku juga harus
menjaga Bunda. Seperti pesan Ayah.
Tiga bulan sudah aku kuliah. Tapi entah
mengapa akhir-akhir ini setiap kali pulang kuliah, aku sering melihat dua orang
laki-laki bertubuh besar keluar dari rumahku. Ku tanyakan pada Bunda, Bunda
hanya menjawab itu pegawai Ayah dari kantor. Sedikit tidak percaya. Siapa
mereka? Aku tau Bunda menyembunyikan sesuatu. Namun, aku tidak berani memaksa
menanyakan hal itu pada Bunda.
***
Rumah kami disita. Bunda masih tidak mau
banyak bercerita. Aku bingung. Kak Dira tinggal bersama suami dan anaknya di
Kalimantan. Ingin ku hubungi mereka, tapi Bunda melarang. Bunda tidak ingin Kak
Dira khawatir. Aku mengerti. Aku bingung. Benar-benar bingung. Aku hanya yakin
ini ada hubungannya dengan dua orang pria yang sering dating ke rumahku. Aku
yakin.
Akhirnya kami tinggal di kontrakan. Tak
tau apa yang ada di benak para tetangga. Mungkin mereka pun tidak percaya ini
terjadi pada keluarga kami. Ini seperti sebuah mimpi buruk. Tiba-tiba aku ingat
pada kuliahku. Bagaimana sekarang? Biaya kuliah..jurusan kedokteran.. Aku
merasa pusing memikirkannya. Yang penting sekarang kami sudah mendapat tempat
berteduh.
“Maafkan Bunda, Nak..” kata Bunda.
“Sebenarnya ada apa, Bun? Aku udah kuliah, apa aku belum cukup dewasa
untuk tau semuanya?” tanyaku.
Bunda hanya menggelengkan kepala dan
menangis. Mungkin kata-kataku menyakitinya.
“Maafin
Nadim, Bun..”
Bunda diam.
***
Hanya aku dan Bunda yang ada di rumah
ini. Rumah kontrakan. Sudah tiga hari aku tidak kuliah. Aku masih harus
menenangkan diri. Terutama Bunda. Aku harus menjaga Bunda. Bunda tidak mau
makan. Bunda hanya diam dan menangis. Aku takut. Aku takut Bunda sakit. Aku tau
ini begitu di luar dugaan. Ini terlalu cepat. Keadaan berubah total.
Kami yang semula tinggal di rumah mewah,
makan selalu enak, tidur selalu nyaman, apapun selalu terpenuhi, kini terbalik.
Tempat tinggal kami sempit. Makan hanya mie instan. Tidur di atas tikar.
Sungguh terbalik. Ku peluk Bunda untuk menenangkannya walau sekejap. Dadaku
sesak menahan tangis. Demi Bunda, aku harus bertahan. Aku harus lebih kuat dan
tegar.
“Bun, aku nggak mau kuliah lagi..” kataku.
Bunda kaget. “Tidak! Kamu harus tetap
kuliah. Kamu malu?” tanya Bunda.
Aku menggeleng.
“Lalu?”
“Aku cuma
nggak mau ninggalin Bunda. Aku nggak bisa
ninggalin Bunda kalau Bunda terus seperti ini..” jawabku.
Bunda menugusap air matanya. “Kamu harus
kuliah, ingat itu! Jangan hanya karena hidup kita sekarang begini kamu
berhenti. Untuk masuk kedokteran itu susah, mahal. Ayah yang membiayai kamu
masuk kuliah kan? Sekarang kamu mau berhenti begitu saja?” tanya Bunda.
Aku hanya diam. Mulai terlihat wajah
Ayah dipikiranku.
“Kamu nggak akan menyia-nyiakan pemberian Ayah kan?” tanya Bunda lagi.
Aku mengangguk.
“Besok kamu harus masuk kuliah.” kata
Bunda.
Ku peluk Bunda.
***
Pagi
ini aku bersiap-siap untuk berangkat ke kampus lebih pagi, mengingat motorku
sudah terjual untuk membayar kontrakan dan sisanya ditabung. Bunda sekarang
mulai bangkit dari kesedihannya. Bunda akan mencari pekerjaan hari ini.
Mudah-mudahan Allah memberikan kemudahan
pada kami, kataku dalam hati.
Aku pun naik angkutan umum. Ternyata
begini rasanya ke kampus naik angkutan umum. Panas, macet, sesak, asap rokok
dimana-mana. Selama ini aku terbiasa naik motor atau diantar oleh Ayah
menggunakan mobil. Ayah… Ayah... Aku rindu Ayah... Sembilan puluh menit.
Setelah sembilah puluh menit menikmati suasana angkutan umum, aku pun sampai di
kampus. Penuh keringat.
“Kenapa kusut gitu? Mana motornya?”
tanya Nadia.
Aku diam. Aku yakin dia akan menjauhiku.
Setelah beberapa kali ku dekati, dia memberi respon. Tapi kini aku malu. Malu
dengan keadaanku.
“Mana motornya, Dim?” tanyanya lagi.
Aku masih diam.
“Nadim jawab..mana motornya? Kenapa kamu
kusut gitu?”
Aku tetap diam. Nadia pun pergi. Aku tau
dia marah. Biarlah.
***
Jam kuliah habis. Aku tidak lagi ke
perpustakaan seperti biasanya. Aku langsung pulang. Aku ingin melamar kerja.
Aku naik angkutan umum lagi. Sangat macet. Panas. Aku duduk dekat pintu agar
terkena angin. Ku lihat lampu merah menyala. Tiba-tiba dua orang anak kecil
menghampiri menyanyikan lagu dengan alat musik dari tutup botol. Kasihan mereka.
Ku beri uang seribu, mereka terlihat sangat senang.
Setelah dua anak itu pergi, terlintaslah
dibenakku akan suatu hal. Aku tersenyum. Tak sabar ingin bertemu Bunda. Apa
Bunda sudah dapat pekerjaan? Tanyaku dalam hati.
Bunda belum pulang. Aku pun pergi.
Mencoba bekerja.
Pukul 18.00 aku pulang ke rumah. Bunda
sedang memasak nasi goreng.
“Udah
dapet, Bun?” tanyaku.
Bunda mengangguk.
“Apa?” tanyaku lagi.
“Pembantu..” jawab Bunda.
“Pembantu?” aku kaget.
“Kenapa? Itu halal kan?” tanya Bunda.
Aku mengangguk. Pembantu..kenapa harus
jadi pembantu..kataku dalam hati. Bunda menghampiriku.
“Kerja apa saja yang penting halal,
sekarang jangan gengsi lagi..” kata Bunda.
Aku tersenyum. Ku ambil uang yang ada di
saku jaketku. Ku berikan pada Bunda.
“Apa ini?” tanya Bunda.
“Untuk Bunda..” jawabku sambil
tersenyum.
“Kamu bekerja?” yanta Bunda.
Aku mengangguk.
“Kerja apa, Nak?”
“Itu tidak penting, yang penting itu
halal..”
Bunda memelukku.
***
Kak Dira akhirnya tau apa yang terjadi
pada keluarga kami. Kak Dira marah karena kami tidak mengabarkannya. Kak Dira
hanya dapat mengirimkan kami uang setiap bulan untuk memenuhi kebutuhan
kuliahku. Kakak hanya ingin aku tidak berhenti kuliah agar aku tetap bisa
menjadi dokter dan mengembalikan apa yang pernah ada.
Aku sudah tidak mau bertanya pada Bunda
tentang apa yang sebenarnya terjadi. Aku akan menunggu sampai Bunda
menceritakannya padaku. Kini aku pun sudah terbiasa sepulang kuliah langsung
bekerja. Uang yang ku dapat langsung ku serahkan pada Bunda. Bunda masih belum
tau aku bekerja sebagai apa dan dimana. Aku tidak ingin Bunda tau. Sampai pada
saat dimana aku mulai bernyanyi di salah satu angkutan umum, seseorang
memberiku uang sepuluh ribu. Aku kaget. Saat ku lihat, ibu-ibu tersenyum
kepadaku. Bunda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar