Tentang ...

Sabtu, 27 April 2013

KISAH NADHIM

KISAH NADHIM


Malam ini hujan turun dengan derasnya. Seolah turut berduka atas kembalinya Ayah kepada Sang Pemilik nyawa. Air mata jatuh tak terbendung. Kembali teringat raut wajah Ayah yang ramah namun tegas. Semua bersedih. Tetangga mulai berdatangan ke rumah kami. Mereka ikut menangis. Ayah dikenal warga yang baik. Beliau ramah pada siapapun. Semua menghormatinya. Tak ada yang menyangka Ayah akan pulang secepat ini. Penyakit jantung telah merenggut nyawanya. Tapi kami yakin inilah yang terbaik. Ayah tidak akan lagi tersiksa dengan penyakitnya.

            Masih terbayang jelas saat Ayah memberiku motor baru beberapa hari yang lalu sebagai hadiah kelulusanku dari SMA. Ayah tampak sangat sehat. Tak ada tanda-tanda beliau sakit. Hanya saja hari itu memang lain dari biasanya. Ayah berulang kali memeluk, mencium dan mengusap-usap rambutku. Hal yang sangat jarang terjadi. Ayah juga berkali-kali menasihatiku agar selalu menjaga Bunda dan Kak Dira yang sedang hamil. Tak ku sangka itulah amanat terakhir Ayah padaku.

Sebulan setelah kepergian Ayah, kehidupan berjalan seperti biasanya. Walaupun sangat terasa sepi dan tak sehangat saat Ayah masih ada. Tak lama lagi Kak Dira akan melahirkan anak pertama. Kasihan Ayah, beliau tidak sempat melihat cucu pertamanya. Padahal Ayah sangat menunggu-nunggu kehadiran seorang cucu.

Akhirnya, keponakanku lahir. Laki-laki. Aku sangat senang, terlebih Bunda. Bunda selalu menggendongnya sambil tersenyum.

“Sayang sekali, Opa udah nggak ada.. Opa kamu nggak sempat liat kamu, cucu pertamanya..” kata Bunda

Aku dan Kak Dira saling berpandangan. Kami tau Bunda sangat sedih.

“Mau tinggal dimana nanti, Dir?” tanya Bunda kemudian.

“Sama Kak Rio, Bun.. Hm..nggak apa-apa kan?” jawab Kak Dira.

Bunda hanya mengangguk.

***

Ini adalah hari pertama aku merasakan duduk di bangku kuliah. Kini aku adalah seorang mahasiswa. Mahasiswa kedokteran. Jurusan yang benar-benar aku inginkan. Ku jalani perkuliahan dengan baik. Agar kelak aku menjadi dokter seperti cita-citaku selama ini. Setelah lulus, aku akan menikah dan langsung mengambil spesialis. Mungkin masih sangat jauh. Tapi begitulah rencana hidupku.

Sepulang kuliah, aku banyak menghabiskan waktu di perpustakaan. Setelah cukup jenuh, aku pulang. Jarak dari rumahku ke kampus tidak terlalu jauh, dengan waktu satu jam menggunakan motor aku akan sampai di kampus. Sehingga aku tidak perlu menjadi anak kost-an. Aku juga harus menjaga Bunda. Seperti pesan Ayah.

Tiga bulan sudah aku kuliah. Tapi entah mengapa akhir-akhir ini setiap kali pulang kuliah, aku sering melihat dua orang laki-laki bertubuh besar keluar dari rumahku. Ku tanyakan pada Bunda, Bunda hanya menjawab itu pegawai Ayah dari kantor. Sedikit tidak percaya. Siapa mereka? Aku tau Bunda menyembunyikan sesuatu. Namun, aku tidak berani memaksa menanyakan hal itu pada Bunda.

***

Rumah kami disita. Bunda masih tidak mau banyak bercerita. Aku bingung. Kak Dira tinggal bersama suami dan anaknya di Kalimantan. Ingin ku hubungi mereka, tapi Bunda melarang. Bunda tidak ingin Kak Dira khawatir. Aku mengerti. Aku bingung. Benar-benar bingung. Aku hanya yakin ini ada hubungannya dengan dua orang pria yang sering dating ke rumahku. Aku yakin.

Akhirnya kami tinggal di kontrakan. Tak tau apa yang ada di benak para tetangga. Mungkin mereka pun tidak percaya ini terjadi pada keluarga kami. Ini seperti sebuah mimpi buruk. Tiba-tiba aku ingat pada kuliahku. Bagaimana sekarang? Biaya kuliah..jurusan kedokteran.. Aku merasa pusing memikirkannya. Yang penting sekarang kami sudah mendapat tempat berteduh.

“Maafkan Bunda, Nak..” kata Bunda.

“Sebenarnya ada apa, Bun? Aku udah kuliah, apa aku belum cukup dewasa untuk tau semuanya?” tanyaku.

Bunda hanya menggelengkan kepala dan menangis. Mungkin kata-kataku menyakitinya.

Maafin Nadim, Bun..”

Bunda diam.

***

Hanya aku dan Bunda yang ada di rumah ini. Rumah kontrakan. Sudah tiga hari aku tidak kuliah. Aku masih harus menenangkan diri. Terutama Bunda. Aku harus menjaga Bunda. Bunda tidak mau makan. Bunda hanya diam dan menangis. Aku takut. Aku takut Bunda sakit. Aku tau ini begitu di luar dugaan. Ini terlalu cepat. Keadaan berubah total.

Kami yang semula tinggal di rumah mewah, makan selalu enak, tidur selalu nyaman, apapun selalu terpenuhi, kini terbalik. Tempat tinggal kami sempit. Makan hanya mie instan. Tidur di atas tikar. Sungguh terbalik. Ku peluk Bunda untuk menenangkannya walau sekejap. Dadaku sesak menahan tangis. Demi Bunda, aku harus bertahan. Aku harus lebih kuat dan tegar.

“Bun, aku nggak mau kuliah lagi..” kataku.

Bunda kaget. “Tidak! Kamu harus tetap kuliah. Kamu malu?” tanya Bunda.

Aku menggeleng.

“Lalu?”

“Aku cuma nggak mau ninggalin Bunda. Aku nggak bisa ninggalin Bunda kalau Bunda terus seperti ini..” jawabku.

Bunda menugusap air matanya. “Kamu harus kuliah, ingat itu! Jangan hanya karena hidup kita sekarang begini kamu berhenti. Untuk masuk kedokteran itu susah, mahal. Ayah yang membiayai kamu masuk kuliah kan? Sekarang kamu mau berhenti begitu saja?” tanya Bunda.

Aku hanya diam. Mulai terlihat wajah Ayah dipikiranku.

“Kamu nggak akan menyia-nyiakan pemberian Ayah kan?” tanya Bunda lagi.

Aku mengangguk.

“Besok kamu harus masuk kuliah.” kata Bunda.

Ku peluk Bunda.



***

            Pagi ini aku bersiap-siap untuk berangkat ke kampus lebih pagi, mengingat motorku sudah terjual untuk membayar kontrakan dan sisanya ditabung. Bunda sekarang mulai bangkit dari kesedihannya. Bunda akan mencari pekerjaan hari ini. Mudah-mudahan Allah memberikan kemudahan  pada kami, kataku dalam hati.

Aku pun naik angkutan umum. Ternyata begini rasanya ke kampus naik angkutan umum. Panas, macet, sesak, asap rokok dimana-mana. Selama ini aku terbiasa naik motor atau diantar oleh Ayah menggunakan mobil. Ayah… Ayah... Aku rindu Ayah... Sembilan puluh menit. Setelah sembilah puluh menit menikmati suasana angkutan umum, aku pun sampai di kampus. Penuh keringat.

“Kenapa kusut gitu? Mana motornya?” tanya Nadia.

Aku diam. Aku yakin dia akan menjauhiku. Setelah beberapa kali ku dekati, dia memberi respon. Tapi kini aku malu. Malu dengan keadaanku.

“Mana motornya, Dim?” tanyanya lagi.

Aku masih diam.

“Nadim jawab..mana motornya? Kenapa kamu kusut gitu?”

Aku tetap diam. Nadia pun pergi. Aku tau dia marah. Biarlah.



***

Jam kuliah habis. Aku tidak lagi ke perpustakaan seperti biasanya. Aku langsung pulang. Aku ingin melamar kerja. Aku naik angkutan umum lagi. Sangat macet. Panas. Aku duduk dekat pintu agar terkena angin. Ku lihat lampu merah menyala. Tiba-tiba dua orang anak kecil menghampiri menyanyikan lagu dengan alat musik dari tutup botol. Kasihan mereka. Ku beri uang seribu, mereka terlihat sangat senang.

Setelah dua anak itu pergi, terlintaslah dibenakku akan suatu hal. Aku tersenyum. Tak sabar ingin bertemu Bunda. Apa Bunda sudah dapat pekerjaan? Tanyaku dalam hati.

Bunda belum pulang. Aku pun pergi. Mencoba bekerja.

Pukul 18.00 aku pulang ke rumah. Bunda sedang memasak nasi goreng.

Udah dapet, Bun?” tanyaku.

Bunda mengangguk.

“Apa?” tanyaku lagi.

“Pembantu..” jawab Bunda.

“Pembantu?” aku kaget.

“Kenapa? Itu halal kan?” tanya Bunda.

Aku mengangguk. Pembantu..kenapa harus jadi pembantu..kataku dalam hati. Bunda menghampiriku.

“Kerja apa saja yang penting halal, sekarang jangan gengsi lagi..” kata Bunda.

Aku tersenyum. Ku ambil uang yang ada di saku jaketku. Ku berikan pada Bunda.

“Apa ini?” tanya Bunda.

“Untuk Bunda..” jawabku sambil tersenyum.

“Kamu bekerja?” yanta Bunda.

Aku mengangguk.

“Kerja apa, Nak?”

“Itu tidak penting, yang penting itu halal..”

Bunda memelukku.



***

Kak Dira akhirnya tau apa yang terjadi pada keluarga kami. Kak Dira marah karena kami tidak mengabarkannya. Kak Dira hanya dapat mengirimkan kami uang setiap bulan untuk memenuhi kebutuhan kuliahku. Kakak hanya ingin aku tidak berhenti kuliah agar aku tetap bisa menjadi dokter dan mengembalikan apa yang pernah ada.

Aku sudah tidak mau bertanya pada Bunda tentang apa yang sebenarnya terjadi. Aku akan menunggu sampai Bunda menceritakannya padaku. Kini aku pun sudah terbiasa sepulang kuliah langsung bekerja. Uang yang ku dapat langsung ku serahkan pada Bunda. Bunda masih belum tau aku bekerja sebagai apa dan dimana. Aku tidak ingin Bunda tau. Sampai pada saat dimana aku mulai bernyanyi di salah satu angkutan umum, seseorang memberiku uang sepuluh ribu. Aku kaget. Saat ku lihat, ibu-ibu tersenyum kepadaku. Bunda?


Selasa, 05 Maret 2013

Manusia dan Harapan - Ilmu Budaya Dasar


BAB I
PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang
Setiap manusia pasti memiliki keinginan atau harapan. Keinginan untuk memiliki rumah, misalnya, atau keinginan untuk dapat sekolah setinggi mungkin, keinginan memiliki mobil,dan lain-lain. Harapan atau keinginan seseorang sangat dipengaruhi oleh pengetahuan, lingkungan dan kemampuan.[1] Meskipun terkadang tidak semua yang kita harapkan dan cita-citakan terwujud.
Jalan untuk mewujudkan cita-cita tidaklah mulus. Pasti akan ada hambatan yang harus dilewati. Setiap orang harus siap untuk melalui ujian ini. Gagal atau berhasil adalah pilihan. Setiap orang pasti pernah mengalami kegagalan. Gagal adalah hal yang wajar. Banyak orang yang berulang kali mengalami kegagalan dan akhirnya ia menjadi orang yang berhasil. Ini disebabkan mereka menyikapi kegagalan dengan positif. Mereka tidak menjadikan kegagalan sebagai penghancur cita-cita. Justru dengan kegagalan yang mereka alami, mereka semakin termotivasi untuk berhasil.
Setiap manusia memiliki motivasi dalam hidup. Motivasi dapat diartikan dengan tujuan. Motivasi dapat muncul dari diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Motivasi yang muncul dari diri sendiri sebenarnya lebih kuat jika dibandingkan dengan motivasi yang muncul dari orang lain dan lingkungan. Alasannya, motivasi yang muncul dari diri orang lain cenderung membuat kita bergantung pada orang lain. Begitu pula dengan lingkungan.
Untuk dapat memunculkan motivasi dari diri sendiri adalah dengan meyakini bahwa Allah telah menciptakan manusia berbeda-beda dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kita harus memahami apa yang menjadi kelebihan kita dan memupuk rasa percaya diri agar motivasi itu muncul. Dengan terus memotivasi diri kita dengan kata-kata yang positif, kita akan semakin yakin bahwa kita mampu bangkit dari kegagalan untuk mencapai cita-cita yang kita inginkan.

1.2              Rumusan Masalah
Apa saja yang dibahas dalam makalah yang berjudul “Manusia dan Harapan” ? Pertanyaan tersebut dapat dirinci sebagai berikut :
a.       Apa yang di maksud dengan harapan?
b.      Mengapa manusia memiliki harapan?
c.       Apa hubungan antara manusia dengan harapan?
d.      Apa yang di maksud dengan kepercayaan?
e.       Apa saja sumber motivasi?

1.3              Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk dapat menjawab beberapa pertanyaan yang tercantum dalam rumusan masalah di atas.

1.4              Manfaat
Manfaat dari penyusunan makalah ini di antaranya :
a.         Mahasiswa dapat mengetahui pengertian harapan serta hubungan antara manusia dengan harapan.
b.         Diharapkan agar terbentuknya mahasiswa yang optimis dan mau berusaha untuk mencapai harapannya.
c.         Mahasiswa dapat menjadikan kegagalan sebagai pengalaman.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1              Manusia
Sesungguhnya manusia diciptakan oleh Allah SWT adalah paling sempurna dibandingkan dengan makhluk yang lainnya.[2] Manusia sebagai makhluk individu memiliki unsur jasmani dan rohani, unsur fisik dan psikis, unsur raga dan jiwa. Seseorang dikatakan sebagai manusia individu manakala unsur-unsur tersebut menyatu dalam dirinya. Jika unsur tersebut sudah tidak menyatu lagi maka seseorang tidak disebut sebagai individu. Dalam diri individu ada unsur jasmani dan rohaninya, atau ada unsur fisik dan psikisnya, atau ada unsur raga dan jiwanya.[3]
Manusia atau orang dapat diartikan berbeda-beda menurut biologis, rohani, dan istilah kebudayaan, atau secara campuran. Secara biologis, manusia diklasifikasikan sebagai Homo sapiens (Bahasa Latin untuk manusia), sebuah spesies primata dari golongan mamalia yang dilengkapi otak berkemampuan tinggi. Dalam hal kerohanian, mereka dijelaskan menggunakan konsep jiwa yang bervariasi di mana, dalam agama, dimengerti dalam hubungannya dengan kekuatan ketuhanan atau makhluk hidup; dalam mitos, mereka juga seringkali dibandingkan dengan ras lain. Dalam antropologi kebudayaan, mereka dijelaskan berdasarkan penggunaan bahasanya, organisasi mereka dalam masyarakat majemuk serta perkembangan teknologinya, dan terutama berdasarkan kemampuannya untuk membentuk kelompok dan lembaga untuk dukungan satu sama lain serta pertolongan.[4]
Manusia pada hakikatnya adalah sama dengan mahluk hidup lainnya, yaitu memiliki hasrat dan tujuan. Ia berjuang untuk meraih tujuannya dengan didukung oleh pengetahuan dan kesadaran. Perbedaan diantara keduanya terletak pada dimensi pengetahuan, kesadaran dan keunggulan yang dimiliki manusia dibanding dengan mahluk lain.
Manusia sebagai salah satu mahluk yang hidup di muka bumi merupakan mahluk yang memiliki karakter paling unik. Manusia secara fisik tidak begitu berbeda dengan binatang, sehingga para pemikir menyamakan dengan binatang. Letak perbedaan yang paling utama antara manusia dengan makhluk lainnya adalah dalam kemampuannya melahirkan kebudayaan.[5]

2.2              Harapan
Harapan berasal dari kata harap yang berarti keinginan agar sesuatu hal terjadi atau terwujud.[6] Setiap manusia pasti memiliki harapan atau yang biasa disebut cita-cita. Harapan atau cita-cita pasti dapat tercapai apabila kita selalu mau berusaha dan bersungguh-sungguh, walaupun pada akhirnya Allah yang menentukan.
Prestasi yang tinggi selalu diawali oleh cita-cita yang tinggi.[7] Meskipun sebenarnya lebih banyak ditemukan cita-cita tinggi membuat orang frustasi. Hal ini akan terjadi apabila orang tersebut gagal dalam mencapainya. Manusia akan menjadi kecewa apabila apa yang diharapkannya tidak sesuai dengan kenyataan. Manusia  manusia memang harus memiliki cita-cita yang tinggi akan tetapi manusia juga harus mempersiapkan cita-cita yang lain untuk mengantisipasi kegagalan yang mungkin saja terjadi.
Cita-cita merupakan hal yang sangat penting. Cita-cita merupakan refleksi diri. Cita-cita merupakan suatu gambaran dari diri seseorang tentang sifat, bakat maupun minatnya. Cita-cita juga merupakan tujuan hidup.[8] Besar kecilnya cita-cita seseorang tidak bergantung pada luas atau sempitnya wawasan. Akan tetapi, kepribadianlah yang dapat menentukannya.

Menurut macamnya, ada harapan optimis dan ada harapan pesimis. Harapan yang optimis artinya, sesuatu yang akan terjadi itu sudah memberikan tanda-tanda yang dapat dianalisis secara rasional, bahwa sesuatu yang akan terjadi akan muncul. Dalam harapan yang pesimis, ada tanda-tanda rasional tidak akan terjadi.[9]

2.3              Mengapa manusia memiliki harapan?
Menurut kodratnya, manusia adalah makhluk sosial, yang hidup saling berinteraksi. Terdapat dua dorongan dalam diri manusia untuk saling berinteraksi, yaitu[10] :
·      Dorongan kodrat
Dorongan kodrat adalah sifat, keadaan atau pembawaan alamiah yang sudah ada dalam diri manusia sejak manusia itu diciptakan oleh Allah. Misalnya menangis, bergembira, berpikir, berjalan, berkata, mempunyai keturunan dan sebagainya. Setiap manusia mempunyai kemampuan untuk itu semua.[11]
·      Dorongan kebutuhan hidup
Kebutuhan hidup adalah kebutuhan jasmani dan rohani. Kebutuhan jasmani ialah sandang, pangan dan papan. Sedangkan kebutuhan rohani ialah kebahagiaan, kepuasaan, ketenangan hati, dan sebagainya.[12]

Sehubungan dengan kebutuhan manusia, Abrahan Maslow mengategorikan kebutuhan manusia menjadi lima macam, yang merupakan lima harapan manusia, yaitu :
a.    Harapan untuk memperoleh kelangsungan hidup (survival).
b.    Harapan untuk memperoleh keamanan (safety).
Setiap orang membutuhkan keamanan. Sejak seorang anak lahir ia telah membutuhkan keamanan. Begitu lahir, dengan suara tangis, itu pertanda minta perlindungan. Setelah agak besar, setiap anak menangis dia akan diam setelah dipeluk oleh ibunya. Setelah bertambah besar ia ingin dilindungi. Rasa aman tidak harus diwujudkan dengan perlindungan yang nampak, secara moral pun orang lain dapat memberi rasa aman.[13]
c.    Harapan untuk memperoleh hak dan kewajiban untuk mencintai dan dicintai.
Tiap orang mempunyai hak dan kewajiban. Dengan pertumbuhan manusia maka tumbuh pula kesadaran akan hak dan kewajiban.[14]
d.   Harapan memperoleh status atau untuk diterima atau di akui lingkungan.
Setiap manusia membutuhkan status. Siapa, untuk apa, mengapa manusia hidup. Setiap manusia yang lahir di bumi ini tentu akan bertanya tentang statusnya. Status keberadaannya. Status dalam keluarga, status dalam masyarakat, dan status dalam negara. Status itu penting, karena dengan status orang tahu siapa dia.[15]
e.    Harapan untuk memperoleh perwujudan dan cita-cita (self actualization).[16]
Selanjutnya manusia berharap diakui keberadaannya sesuai dengan keahliannya atau kepangakatannya atau profesinya. Pada saar itu manusia mengembangkan bakat atau kepandaiannya agar ia diterima atau diakui kehebatannya.[17]

2.4              Manusia dan Harapan[18]
Harapan bersifat manusiawi dan dimiliki semua orang. Dalam hubungannya dengan pendidikan moral, untuk mewujudkan harapan diperlukan hal-hal berikut:
a.    Menentukan harapan yang baik
b.   Mengetahui bagaimana mencapai harapan tersebut
c.    Mempersiapkan mental untuk menerima segala kemungkinan

Apabila manusia mengingat bahwa kehidupan tidak hanya di dunia saja namun di akhirat juga, maka sudah selayaknya “harapan” manusia untuk hidup di kedua tempat tersebut bahagia. Dengan begitu manusia dapat menyelaraskan kehidupan antara dunia dan akhirat dan selalu berharap bahwa hari esok lebih baik dari pada hari ini, namun kita harus sadar bahwa harapan tidak selamanya menjadi kenyataan.

2.5              Kepercayaan
Kepercayaan berasal dari kata percaya yang berarti mengakui atau meyakini kebenaran. Kepercayaan dibedakan menjadi empat bagian, yaitu :[19]
a.    Kepercayaan terhadap diri sendiri.
Kepercayaan terhadap diri sendiri perlu ditanamkan pada setiap pribadi manusia. Percaya terhadap diri sendiri pada hakikatnya percaya kepada Allah. Percaya terhadap diri sendiri adalah menganggap diri tidak salah dan yakin dirinya mampu mengerjakan apa yang dipercayakan terhadapnya.
b.    Kepercayaan terhadap orang lain.
Percaya terhadap orang lain dapat berupa percaya kepada orang tua, saudara, guru atau siapa saja.
c.    Kepercayaan terhadap pemerintah.
Karena pada dasarnya negara berorientasi pada Tuhan dan kepentingan rakyat, maka sudah seharusnya sebagai warga negara mempercayai pemerintah.
d.   Kepercayaan terhadap Tuhan.
Percaya terhadap Tuhan adalah hal yang sangat penting karena manusia diciptakan oleh Tuhan. Tuhan tidak dapat menolong umatnya apabila umatnya tidak percaya kepadanya.

2.6              Motivasi[20]
Salah satu sebab mengapa kita disebut manusia adalah karena kita memiliki motivasi. Dalam terminologi religi, motivasi dipahami sebagai niat. Motivasi dapat datang dari diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Walaupun pada kenyataanya, orang lebih banyak termotivasi oleh orang lain dan lingkungan. Sebenarnya, ini akan membuat kita menjadi sangat bergantung terhadap hal tersebut. Motivasi yang datang dari diri sendiri lebih kuat dan akan lebih bertahan apabila dibandingkan dengan motivasi yang datang dari orang lain dan lingkungan.

Adapun sumber motivasi menurut Satria Hadi Lubis, adalah :[21]
a.     Visualisasi
Visualisasi membuat seseorang membayangkan tujuan atau hasil usahanya dengan jelas dan detail.
b.    Tanggungjawab
Tanggungjawab merupakan sumber pemicu motivasi.
c.     Kenyamanan
d.    Gerakan
 
BAB III
PENUTUP

3.1       Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan :
a.    Harapan berarti keinginan agar sesuatu hal terjadi atau terwujud.
b.    Manusia adalah makhluk sosial, yang hidup saling berinteraksi, dan terdapat dua dorongan dalam diri manusia untuk saling berinteraksi, yaitu dorongan kodrat dan dorongan kebutuhan hidup.
c.    Harapan bersifat manusiawi dan dimiliki semua orang.
d.   Kepercayaan berarti mengakui atau meyakini kebenaran.
e.    Sumber motivasi adalah visualisasi, tanggungjawab, kenyamanan dan gerakan.

3.2       Saran
Penulis menyadari dalam pembuatan makalah ini tidaklah sempurna dan masih banyak yang harus diperbaiki. Oleh karena itu, penulis memohon saran dan kritik yang membangun dari pembaca agar untuk di kemudian hari penulis dapat menyusun makalah yang lebih baik lagi. Semoga makalah ini bermanfaat untuk semua pihak.
 
DAFTAR PUSTAKA


Ahmad Mustofa, Ilmu Budaya Dasar., (Bandung : Pustaka Setia)., 1999., hal. 170

Ramdani Wahyu, Ilmu Budaya Dasar., (Bandung : Pustaka Setia)., 2008., hal. 194

Munandar Soelaeman, Ilmu Budaya Dasar., (Bandung : Refika ADITAMA)., 2007., hal.106

Jumadi Subur, 99 ideas for happy life., (Bandung : ZIP BOOKS)., 2008., hal.8










[6] Ahmad Mustofa, Ilmu Budaya Dasar., (Bandung : Pustaka Setia)., 1999., hal. 170
[7] Ramdani Wahyu, Ilmu Budaya Dasar., (Bandung : Pustaka Setia)., 2008., hal. 194
[8] Ibid., hal. 197
[9] Munandar Soelaeman, Ilmu Budaya Dasar., (Bandung : Refika ADITAMA)., 2007., hal.106
[11] Ibid.
[12] Ahmad Mustofa, Op.Cit., hal. 171
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[19] Ahmad Mustofa, Op.Cit., hal. 171
[20] Jumadi Subur, 99 ideas for happy life., (Bandung : ZIP BOOKS)., 2008., hal.8
[21] Ibid.