Tentang ...

Jumat, 14 Desember 2012

semantik - teori kontekstual


BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Semantik adalah cabang linguistik yang mempelajari tentang makna. Objek kajian semantik secara umum adalah bahasa atau simbol, sedangkan objek kajian secara umum yaitu makna. Semantik memiliki arti luas dan arti sempit. Arti luas semantik semua hal bermakna, sedangkan arti sempitnya semantik adalah studi makna tentang simbol bahasa.
Dalam memahami makna, membutuhkan beberapa teori, seperti teori referensial, teori ideasional, teori berhavioral, teori kontekstual, teori medan makna dan teori analisis. Makalah ini membahas tentang teori kontekstual.

2.      Rumusan Masalah
a.       Apa yang di maksud dengan teori kontekstual?
b.      Apa saja macam-macam konteks?
c.       Ilmu apa saja yang mendukung teori kontekstual?
d.      Apa keistimewaan teori kontekstual?

BAB II
PEMBAHASAN
1.        Sejarah Singkat Teori Kontekstual
Sebuah sekolah di London yang dipimpin oleh Firth dikenal dengan Metode Kontekstual atau Metode Operasional. Firth meletakkan fungsi sosial bahasa. Dia mendapat dukungan dari Halliday, Mc Intosh, Sinclair dan Mitchell. Teori ini kemudian dikembangkan oleh Lyons.[1]

2.        Teori Kontekstual
Dalam teori kontekstual makna berarti penggunaannya dalam bahasa, atau langkah-langkah atau cara yang digunakan, atau peran yang dimainkan. Firth menjelaskan bahwa makna tidak akan terlihat atau terungkap kecuali melalui penggunaannya dalam unit bahasa, yaitu dengan menggunakannya dalam berbagai macam konteks. Firth berpendapat, sebagian besar unit makna berdampingan dengan unit-unit lain. Makna unit ini tidak mungkin digambarkan atau ditentukan kecuali dengan memperhatikan unit-unit lain. Karena itulah studi makna tentang kata menuntut adanya analisis konteks yang menjadi acuan kata-kata tersebut. Dengan demikian, makna kata bergantung ada macam-macam konteks tempat kata itu berada. Dengan kata lain, makna kata bergantung pada peran kebahasaannya.[2]
Makna juga dapat ditentukan oleh konteks pemakainya, baik berupa konteks sosial maupun situasional, disesuaikan dengan pemunculan ujaran dalam pemakaian ataupun tindak komunikasi. Kata selesai, misalnya, dapat mengandung makna berakhir, beres, tuntas, tutup, dan sebagainya. Di antara sejumlah makna tersebut dapat ditentukan makna sebenarnya setelah kata selesai terwujud dalam konteks pemakaian tertentu.[3]
Makna kontekstual muncul karena adanya hubungan antara ujaran dengan situasi. Kata kontekstual sendiri berasal dari kata konteks yang berarti bagian dari suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna suatu kata.[4] Misalnya, kata amplop yang memiliki arti sampul surat. Sedangkan jika kata amplop digunakan dalam kalimat tertentu, maka maknanya bisa berubah, menjadi uang suap.[5]

3.        Macam-macam Konteks
K. Ameer mengatakan bahwa konteks terbagi menjadi empat cabang, yaitu konteks linguistik (kebahasaan), konteks emosional, konteks situasional dan konteks kultural.[6]
a.         Konteks Linguistik atau Kebahasaan[7]
Contohnya, kata good (bahasa Inggris), hasan (bahasa Arab), zain (bahasa ‘Amiyah). Tiga kata itu, dalam bahasa Indonesia memiliki arti bagus atau baik. Dalam konteks-konteks kebahasaan misalnya, menjadi sifat untuk :
·       Diri : laki-laki, wanita, anak
·       Hal-hal yang bersifat sementara : waktu, hari, pesta, rihlah
·       Ukuran : garam, tepung, udara, air

Jika kata-kata di atas dikaitkan dengan konteks kata laki-laki, maka maknanya adalah dari segi perilaku. Laki-laki + baik = laki-laki baik. Jika dikaitkan dengan kata dokter, maka maknanya akan lain lagi. Bukan dari segi perilaku, tetapi menunjukkan keunggulan. Dokter + bagus = dokter yang bagus. Dan jika dikaitkan sebagai sifat untuk ukuran, maka maknanya menjadi kemurnian. Garam + bagus =  garam yang bagus.
Begitu pula jika kata tangan dikaitkan dengan konteks yang berlainan, misalnya :
·      Memberinya harta melalui punggung tangan, maknanya karena mengistimewakan. Bukan karena jual beli, pinjaman, ataupun upah.
·      Mereka menjadi tangan di atas orang-orang selain mereka, maknanya urusan mereka bersatu.
·      Tangan kapak, dan lain-lain, maknanya tempat pegangannya.
·      Tangan waktu, maknanya ukuran panjang waktu.
·      Tangan angin, maknanya kekuatan angin.
·      Tangan burung, maknanya sayap.
·      Melepas/mencabut tangannya dari ketaatan, maknanya tidak taat lagi atau melawan.
·      Membaiatnya tangan dengan tangan, maknanya membaiat secara langsung.
·      Baju bertangan pendek, maknanya baju yang terlalu pendek untuk menutupi tubuh.
·      Seseorang bertangan panjang, maknanya dermawan.
·      Aku tidak punya kekuatan tangan, maknanya tidak punya kekuatan.
·      Jatuh ke dalam tangannya sendiri, maknanya menyesal.
·      Tanganku ini untukmu, maknanya aku menyerah kepadamu.
·      Sehingga mereka menyerahkan jizyah melalui tangan, maknanya secara menyerah dan dengan mengakui ketinggian posisi orang-orang muslim.
·      Sungguh, di antara dua tangan kiamat banyak hal-hal yang menakutkan, maknanya dihadapan kiamat.
·      Tangan laki-laki, maknanya golongan atau para penolong.

b.      Konteks Emosional[8]
Konteks emosional berfungsi untuk menentukan derajat kuat atau lemahnya perasaan, menunjukkan kepastian atau berlebihan atau normal. Kata love dan like meski pada dasarnya memiliki arti cinta, tetapi ukurannya tetap berbeda. Contoh dalam bahasa Arab, kata يكره dan يبغض memiliki arti sama, yaitu benci. Tetapi ukurannya lebih dalam يبغض .


c.       Konteks Situasional[9]
Konteks situasional, maksudnya situasi eksternal suatu kata. Misalnya, penggunaan kataيرحم  dalam doa bersin “يرحمك الله  dimulai dengan fi’il, dalam doa untuk orang yang meninggal “الله يرحمه  dimulai dengan isim. Kata يرحم yang pertama, maksudnya meminta rahmat di dunia, sedangkan yang kedua, maksudnya meminta rahmat di akhirat. Ini berkaitan dengan konteks kebahasaan.

d.      Konteks Kultural[10]
Konteks kultural maksudnya batasan kultur atau sosial dalam penggunaan kata. Misalnya looking glass dan mirror sama-sama memiliki arti cermin. Di Inggris, kata looking glass menunjukkan orang yang berstrata sosial tinggi. Contoh dalam bahasa Arab, kata عقيلة dan زوجة memiliki arti isteri. Tetapi kata عقيلة menunjukkan orang yang berstrata istimewa. Dalam bahasa Indonesia, contohnya adalah kata akar. Makna akar bagi petani, akan berbeda dengan makna akar bagi ahli matematika.

4.      Ilmu-ilmu Pendukung Teori Kontekstual
Menurut Leech, teori kontekstual Firth terpengaruh oleh seorang antropolog dari Polandia, yaitu B. Malinowski. Malinowski memperlakukan bahasa sebagai bentuk gerakan, bukan alat untuk merespon.[11] Pandangan yang mendasar tentang makna dalam bahasa oleh Malinowski disebut konteks situasi. Menurutnya, makna tuturan itu seperti yang terdapat dalam konteks situasinya.[12]
Filsafat juga mendukung teori kontekstual ini. Seorang filosof bernama Wittgenstein dalam bukunya Philosophical Investigation menyatakan bahwa makna kata adalah penggunaannya dalam bahasa.[13] Menurut Wittgenstein, hakikat bahasa adalah penggunaannya dalam berbagai macam konteks kehidupan manusia. Setiap konteks kehidupan manusia menggunakan satu bahasa tertentu, dengan menggunakan aturan penggunaan yang khas dan tidak sama dengan konteks penggunaan lainnya.
Berdasarkan macamnya, terdapat banyak penggunaan bahasa yang masing-masing memiliki aturan sendiri-sendiri dan hal itu merupakan suatu nilai. Misalnya, penggunaan bahasa dalam memberikan perintah dan mematuhinya, melaporkan suatu kejadian, berspekulasi mengenai suatu peristiwa, menyusun cerita dan membahasnya, dan lain-lain. Itulah yang membuat Wittgenstein menyimpulkan bahwa makna sebuah kata adalah penggunaannya dalam kalimat. Makna sebuah kalimat adalah penggunaannya dalam bahasa, dan makna bahasa adalah penggunaannya dalam berbagai konteks kehidupan manusia.[14]
Selain Wittgenstein, filosof lain yaitu Bertrand Russel pun menyatakan bahwa kata mengandung makna yang tidak jelas, tetapi makna akan terungkap melalui penggunaannya. Setelah digunakan, barulah akan muncul makna.[15]
Ilmu lain yang mendukung teori ini adalah psikologi dan linguistik. Seorang linguis bernama Ullman menyatakan bahwa seorang leksiko (pembuat kamus) terlebih dulu harus memperhatikan setiap kata dalam konteksnya, baik dalam obrolan ataupun tulisan. Artinya, kita harus mempelajari kata dalam proses penggunaannya dalam ujaran.[16]
Di antara pendukung teori ini, ada pula yang memfokuskan ke konteks bahasa dan ada pula yang memfokuskan ke kolokasi. Meski ini dianggap perkembangan dari teori kontekstual, namun ada juga yang menganggap teori kolokasi ini berdiri sendiri. Ullman mengatakan bahwa ada perkembangan yang penting dalam makna, yaitu kolokasi. Inilah yang menjadi fokus Firth dan para pengikutnya. Kolokasi adalah hubungan yang sudah biasa antara kata dengan kata lain. Seperti kata meleleh hanya cocok dihubungkan dengan kata besi, tembaga, emas, dan perak. [17]
Menurut Firth, kolokasi merupakan bagian dari makna suatu kata. Artinya, kolokasi juga turut menentukan makna suatu kata atau memiliki peranan dalam kontekstualisasi makna suatu kata.[18] Contoh kolokasi yang lain, seperti sekuntum bunga, sesuap nasi, dan lain-lain. Di Indonesia, kata lampu disandingkan dengan kata nyala atau mati. Tetapi di Malaysia, kata lampu disandingkan dengan kata buka. Membuka lampu dalam bahasa Malaysia sama artinya dengan menyalakan lampu dalam bahasa Indonesia. Menutup lampu sama artinya dengan mematikan lampu. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata buka dan tutup biasa disandingkan misalnya dengan kata pintu.

5.      Keistimewaan Teori Kontekstual
Adapun yang menjadi keistimewaan paling penting dalam metode ini adalah :
a.       Makna menjadi mudah dianalisis, sebagaimana yang dikatakan oleh Ullmann. Dan menurut Firth, makna terhindar dari makna ideasional yang sulit ditafsirkan, kata-kata diperlakukan sebagai kejadian-kejadian, kebiasaan-kebiasaan, pekerjaan-pekerjaan yang dapat diteliti.[19]
b.      Metode ini dalam analisis bahasanya tidak keluar dari ruang lingkup bahasa, oleh karena itu metode ini terhindar dari kritik yang diarahkan ke metode-metode sebelumnya, (yaitu metode referensial, metode ideasional dan metode behavioral).  Leech, mengungkapan, problematika arah Ougden dan Ricards Bloomfield dalam kajian makna, keduanya menjelaskan semantik berdasarkan konteks ilmu lain. Ia mengatakan,  mencari penjelasan fenomena bahasa di luar ruang lingkup bahasa itu seperti mencari jalan keluar dari sebuah ruangan yang tidak memiliki jendela dan pintu. Seharusnya, kita cukup meneliti apa yang di ruangan itu. Maksudnya, kita mempelajari hubungan-hubungan dalam bahasa.[20]

6.      Kritik Terhadap Teori Kontekstual
Meski begitu, ada beberapa protes yang ditujukan kepada teori ini, di antaranya :
a.       Firth tidak menggunakan teori universal untuk menyusun bahasa, cukup menggunakan teori semantik, padalah makna harus diungkapkan secara berurutan dari hubungan-hubungan kontekstual, suara-suara, struktur dan semantik.[21]
b.      Firth tidak membatasi ketika menggunakan istilah konteks beserta kepentingannya. Penjelasannya tentang situasi pun tidak jelas.[22]
c.       Metode ini sama sekali tidak bermanfaat ketika konteks tidak dapat menjelaskan makna kata.[23]

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Mukhtar Umar, Ilmu Dilalah, Maktabah Dar Al-‘Arubah, Kuwait, 1998
Aminuddin, Semantik, (Bandung; Sinar Baru Algesindo), 2008



[1] Ahmad Mukhtar Umar, Ilmu Dilalah, (Maktabah Dar Al-‘Arubah, Kuwait), 1998, hal. 68
[2] Ibid., hal. 68-69
[3] Aminuddin, Semantik, (Bandung; Sinar Baru Algesindo), 2008, hal. 92
[4] http://diajengsurendeng.blogspot.com diambil pada 22 November 2012, pukul. 20.24
[5] http://juprimalino.blogspot.com diambil pada 22 November 2012, pukul. 20.21
[6] Mukhtar Umar, ibid., hal. 69
[7] Ibid., hal. 69-70
[8] Ibid., hal. 70-71
[9] Ibid., hal. 71
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] http://griyawardani.wordpress.com/ diambil pada 23 November 2012, pukul. 20.17
[13] Mukhtar Umar, ibid.
[14] http://isjd.pdii.lipi.go.id diambil pada 23 November 2012, pukul. 20.38
[15] Mukhtar Umar, ibid.
[16] Ibid., hal. 74
[17] Ibid.
[18] www.lontar.ui.ac.id diambil pada 24 November 2012 pukul. 07.31
[19] Mukhtar Umar, ibid., hal. 73
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] Ibid.
[23] Ibid., hal. 74

1 komentar:

  1. mantapz,,,
    mampir juga k blog ane y,, heu
    amarfasyni.blogspot.com

    BalasHapus