BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Semantik
adalah cabang linguistik yang mempelajari tentang makna. Objek kajian semantik secara
umum adalah bahasa atau simbol, sedangkan objek kajian secara umum yaitu makna.
Semantik memiliki arti luas dan arti sempit. Arti luas semantik semua hal
bermakna, sedangkan arti sempitnya semantik adalah studi makna tentang simbol
bahasa.
Dalam
memahami makna, membutuhkan beberapa teori, seperti teori referensial, teori
ideasional, teori berhavioral, teori kontekstual, teori medan makna dan teori
analisis. Makalah ini membahas tentang teori kontekstual.
2.
Rumusan Masalah
a.
Apa
yang di maksud dengan teori kontekstual?
b.
Apa
saja macam-macam konteks?
c.
Ilmu
apa saja yang mendukung teori kontekstual?
d.
Apa
keistimewaan teori kontekstual?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Sejarah Singkat Teori Kontekstual
Sebuah
sekolah di London yang dipimpin oleh Firth dikenal dengan Metode Kontekstual
atau Metode Operasional. Firth meletakkan fungsi sosial bahasa. Dia mendapat
dukungan dari Halliday, Mc Intosh, Sinclair dan Mitchell. Teori ini kemudian
dikembangkan oleh Lyons.[1]
2.
Teori Kontekstual
Dalam
teori kontekstual makna berarti penggunaannya dalam bahasa, atau langkah-langkah
atau cara yang digunakan, atau peran yang dimainkan. Firth
menjelaskan bahwa makna tidak akan terlihat atau terungkap kecuali melalui
penggunaannya dalam unit bahasa, yaitu dengan menggunakannya dalam berbagai
macam konteks. Firth berpendapat, sebagian besar unit makna berdampingan dengan
unit-unit lain. Makna unit ini tidak mungkin digambarkan atau ditentukan
kecuali dengan memperhatikan unit-unit lain. Karena itulah studi makna tentang
kata menuntut adanya analisis konteks yang menjadi acuan kata-kata tersebut.
Dengan demikian, makna kata bergantung ada macam-macam konteks tempat kata itu
berada. Dengan kata lain, makna kata bergantung pada peran kebahasaannya.[2]
Makna
juga dapat ditentukan oleh konteks pemakainya, baik berupa konteks sosial
maupun situasional, disesuaikan dengan pemunculan ujaran dalam pemakaian
ataupun tindak komunikasi. Kata selesai, misalnya, dapat mengandung
makna berakhir, beres, tuntas, tutup, dan sebagainya. Di antara sejumlah
makna tersebut dapat ditentukan makna sebenarnya setelah kata selesai terwujud
dalam konteks pemakaian tertentu.[3]
Makna
kontekstual muncul karena adanya hubungan antara ujaran dengan situasi. Kata kontekstual
sendiri berasal dari kata konteks yang berarti bagian dari suatu
uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna suatu
kata.[4]
Misalnya, kata amplop yang memiliki arti sampul surat. Sedangkan jika
kata amplop digunakan dalam kalimat tertentu, maka maknanya bisa
berubah, menjadi uang suap.[5]
3.
Macam-macam Konteks
K.
Ameer mengatakan bahwa konteks terbagi menjadi empat cabang, yaitu konteks
linguistik (kebahasaan), konteks emosional, konteks situasional dan konteks
kultural.[6]
a.
Konteks
Linguistik atau Kebahasaan[7]
Contohnya,
kata good (bahasa Inggris), hasan (bahasa Arab), zain (bahasa
‘Amiyah). Tiga kata itu, dalam bahasa Indonesia memiliki arti bagus atau
baik. Dalam konteks-konteks kebahasaan misalnya, menjadi sifat untuk :
· Diri : laki-laki, wanita, anak
· Hal-hal yang bersifat sementara : waktu, hari, pesta, rihlah
· Ukuran : garam, tepung, udara, air
Jika
kata-kata di atas dikaitkan dengan konteks kata laki-laki, maka maknanya
adalah dari segi perilaku. Laki-laki + baik = laki-laki baik. Jika
dikaitkan dengan kata dokter, maka maknanya akan lain lagi. Bukan dari
segi perilaku, tetapi menunjukkan keunggulan. Dokter + bagus = dokter yang
bagus. Dan jika dikaitkan sebagai sifat untuk ukuran, maka maknanya menjadi
kemurnian. Garam + bagus = garam yang
bagus.
Begitu
pula jika kata tangan dikaitkan dengan konteks yang berlainan, misalnya
:
· Memberinya harta melalui punggung tangan, maknanya karena
mengistimewakan. Bukan karena jual beli, pinjaman, ataupun upah.
· Mereka menjadi tangan di atas orang-orang selain mereka,
maknanya urusan mereka bersatu.
· Tangan kapak, dan lain-lain, maknanya tempat pegangannya.
· Tangan waktu, maknanya ukuran panjang waktu.
· Tangan angin, maknanya kekuatan angin.
· Tangan burung, maknanya sayap.
· Melepas/mencabut tangannya dari ketaatan, maknanya tidak
taat lagi atau melawan.
· Membaiatnya tangan dengan tangan, maknanya membaiat
secara langsung.
· Baju bertangan pendek, maknanya baju yang terlalu pendek
untuk menutupi tubuh.
· Seseorang bertangan panjang, maknanya dermawan.
· Aku tidak punya kekuatan tangan, maknanya tidak punya
kekuatan.
· Jatuh ke dalam tangannya sendiri, maknanya menyesal.
· Tanganku ini untukmu, maknanya aku menyerah kepadamu.
· Sehingga mereka menyerahkan jizyah melalui tangan, maknanya
secara menyerah dan dengan mengakui ketinggian posisi orang-orang muslim.
· Sungguh, di antara dua tangan kiamat banyak hal-hal yang
menakutkan, maknanya dihadapan kiamat.
· Tangan laki-laki, maknanya golongan atau para penolong.
b.
Konteks
Emosional[8]
Konteks
emosional berfungsi untuk menentukan derajat kuat atau lemahnya perasaan,
menunjukkan kepastian atau berlebihan atau normal. Kata love dan like
meski pada dasarnya memiliki arti cinta, tetapi ukurannya tetap
berbeda. Contoh dalam bahasa Arab, kata يكره dan يبغض memiliki arti sama, yaitu benci. Tetapi
ukurannya lebih dalam يبغض .
c.
Konteks
Situasional[9]
Konteks
situasional, maksudnya situasi eksternal suatu kata. Misalnya, penggunaan kataيرحم dalam doa bersin “يرحمك الله” dimulai dengan fi’il, dalam doa untuk orang
yang meninggal “الله
يرحمه” dimulai dengan isim. Kata
يرحم yang pertama, maksudnya meminta rahmat di
dunia, sedangkan yang kedua, maksudnya meminta rahmat di akhirat. Ini berkaitan
dengan konteks kebahasaan.
d.
Konteks
Kultural[10]
Konteks
kultural maksudnya batasan kultur atau sosial dalam penggunaan kata. Misalnya looking
glass dan mirror sama-sama memiliki arti cermin. Di Inggris,
kata looking glass menunjukkan orang yang berstrata sosial tinggi.
Contoh dalam bahasa Arab, kata عقيلة dan زوجة memiliki arti isteri. Tetapi kata عقيلة menunjukkan orang yang berstrata istimewa. Dalam bahasa
Indonesia, contohnya adalah kata akar. Makna akar bagi petani,
akan berbeda dengan makna akar bagi ahli matematika.
4.
Ilmu-ilmu Pendukung Teori Kontekstual
Menurut
Leech, teori kontekstual Firth terpengaruh oleh seorang antropolog dari
Polandia, yaitu B. Malinowski. Malinowski memperlakukan bahasa sebagai bentuk
gerakan, bukan alat untuk merespon.[11]
Pandangan yang mendasar tentang makna dalam bahasa oleh Malinowski disebut konteks
situasi. Menurutnya, makna tuturan itu seperti yang terdapat dalam konteks
situasinya.[12]
Filsafat
juga mendukung teori kontekstual ini. Seorang filosof bernama Wittgenstein
dalam bukunya Philosophical Investigation menyatakan bahwa makna kata
adalah penggunaannya dalam bahasa.[13]
Menurut Wittgenstein, hakikat bahasa adalah penggunaannya dalam berbagai macam
konteks kehidupan manusia. Setiap konteks kehidupan manusia menggunakan satu
bahasa tertentu, dengan menggunakan aturan penggunaan yang khas dan tidak sama
dengan konteks penggunaan lainnya.
Berdasarkan
macamnya, terdapat banyak penggunaan bahasa yang masing-masing memiliki aturan
sendiri-sendiri dan hal itu merupakan suatu nilai. Misalnya, penggunaan bahasa
dalam memberikan perintah dan mematuhinya, melaporkan suatu kejadian,
berspekulasi mengenai suatu peristiwa, menyusun cerita dan membahasnya, dan
lain-lain. Itulah yang membuat Wittgenstein menyimpulkan bahwa makna sebuah
kata adalah penggunaannya dalam kalimat. Makna sebuah kalimat adalah penggunaannya
dalam bahasa, dan makna bahasa adalah penggunaannya dalam berbagai konteks
kehidupan manusia.[14]
Selain
Wittgenstein, filosof lain yaitu Bertrand Russel pun menyatakan bahwa kata
mengandung makna yang tidak jelas, tetapi makna akan terungkap melalui penggunaannya.
Setelah digunakan, barulah akan muncul makna.[15]
Ilmu
lain yang mendukung teori ini adalah psikologi dan linguistik. Seorang linguis
bernama Ullman menyatakan bahwa seorang leksiko (pembuat kamus) terlebih dulu
harus memperhatikan setiap kata dalam konteksnya, baik dalam obrolan ataupun
tulisan. Artinya, kita harus mempelajari kata dalam proses penggunaannya dalam
ujaran.[16]
Di
antara pendukung teori ini, ada pula yang memfokuskan ke konteks bahasa dan ada
pula yang memfokuskan ke kolokasi. Meski ini dianggap perkembangan dari teori
kontekstual, namun ada juga yang menganggap teori kolokasi ini berdiri sendiri.
Ullman mengatakan bahwa ada perkembangan yang penting dalam makna, yaitu
kolokasi. Inilah yang menjadi fokus Firth dan para pengikutnya. Kolokasi adalah
hubungan yang sudah biasa antara kata dengan kata lain. Seperti kata meleleh
hanya cocok dihubungkan dengan kata besi, tembaga, emas, dan perak.
[17]
Menurut
Firth, kolokasi merupakan bagian dari makna suatu kata. Artinya, kolokasi juga
turut menentukan makna suatu kata atau memiliki peranan dalam kontekstualisasi
makna suatu kata.[18] Contoh
kolokasi yang lain, seperti sekuntum bunga, sesuap nasi, dan lain-lain.
Di Indonesia, kata lampu disandingkan dengan kata nyala atau mati.
Tetapi di Malaysia, kata lampu disandingkan dengan kata buka.
Membuka lampu dalam bahasa Malaysia sama artinya dengan menyalakan lampu
dalam bahasa Indonesia. Menutup lampu sama artinya dengan mematikan
lampu. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata buka dan tutup biasa
disandingkan misalnya dengan kata pintu.
5.
Keistimewaan Teori Kontekstual
Adapun yang menjadi keistimewaan paling penting dalam metode ini
adalah :
a.
Makna
menjadi mudah dianalisis, sebagaimana yang dikatakan oleh Ullmann. Dan menurut Firth, makna terhindar dari makna
ideasional yang sulit ditafsirkan, kata-kata diperlakukan sebagai
kejadian-kejadian, kebiasaan-kebiasaan, pekerjaan-pekerjaan yang dapat diteliti.[19]
b.
Metode
ini dalam analisis bahasanya tidak keluar dari ruang lingkup bahasa, oleh
karena itu metode ini terhindar dari kritik yang diarahkan ke metode-metode sebelumnya, (yaitu metode referensial, metode ideasional dan metode
behavioral).
Leech, mengungkapan, problematika arah Ougden dan Ricards Bloomfield dalam kajian makna, keduanya
menjelaskan semantik berdasarkan konteks ilmu lain. Ia mengatakan, mencari penjelasan fenomena bahasa di luar
ruang lingkup bahasa itu seperti mencari jalan keluar dari sebuah ruangan yang
tidak memiliki jendela dan pintu. Seharusnya,
kita cukup meneliti apa yang di ruangan itu. Maksudnya, kita mempelajari
hubungan-hubungan dalam bahasa.[20]
6.
Kritik Terhadap Teori Kontekstual
Meski begitu, ada beberapa protes yang ditujukan kepada teori ini, di
antaranya :
a.
Firth tidak menggunakan teori universal untuk
menyusun bahasa, cukup menggunakan teori semantik, padalah makna harus diungkapkan secara berurutan dari hubungan-hubungan kontekstual, suara-suara, struktur
dan semantik.[21]
b.
Firth tidak membatasi ketika menggunakan istilah konteks beserta kepentingannya. Penjelasannya tentang situasi pun tidak jelas.[22]
c.
Metode ini sama sekali tidak bermanfaat ketika
konteks tidak dapat menjelaskan makna kata.[23]
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Mukhtar Umar, Ilmu Dilalah, Maktabah Dar Al-‘Arubah, Kuwait, 1998
Aminuddin,
Semantik, (Bandung; Sinar Baru Algesindo), 2008
[1] Ahmad
Mukhtar Umar, Ilmu Dilalah, (Maktabah Dar Al-‘Arubah, Kuwait), 1998,
hal. 68
[2] Ibid.,
hal. 68-69
[3]
Aminuddin, Semantik, (Bandung; Sinar Baru Algesindo), 2008, hal. 92
[4] http://diajengsurendeng.blogspot.com
diambil pada 22 November 2012, pukul. 20.24
[5] http://juprimalino.blogspot.com
diambil pada 22 November 2012, pukul. 20.21
[6] Mukhtar
Umar, ibid., hal. 69
[7] Ibid.,
hal. 69-70
[8] Ibid.,
hal. 70-71
[9] Ibid.,
hal. 71
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] http://griyawardani.wordpress.com/
diambil pada 23 November 2012, pukul. 20.17
[13]
Mukhtar Umar, ibid.
[14] http://isjd.pdii.lipi.go.id diambil pada
23 November 2012, pukul. 20.38
[15]
Mukhtar Umar, ibid.
[16] Ibid.,
hal. 74
[17] Ibid.
[19]
Mukhtar Umar, ibid., hal. 73
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] Ibid.
[23] Ibid.,
hal. 74
mantapz,,,
BalasHapusmampir juga k blog ane y,, heu
amarfasyni.blogspot.com