Tentang ...

Senin, 12 November 2012

Nawal El Sa'dawi


Nawal Sa’dawi lahir pada 27 Oktober 1931. Dia adalah seorang penulis, aktivis, dokter dan psikiater. Dia telah menulis banyak buku tentang masalah perempuan dalam Islam. Saadawi lahir di desa kecil Kafr Tahla. Dia adalah anak sulung dari sembilan bersaudara. Saadawi lulus sebagai dokter pada tahun 1955 dari Universitas Kairo. Dia akhirnya Sheriff Hetata yang juga seorang dokter dan penulis. Mereka menikah pada tahun 1964 dan memiliki seorang putra dan seorang putri.
Lama dipandang sebagai kontroversial dan berbahaya oleh pemerintah Mesir, Saadawi dipenjara pada bulan September 1981, bersama dengan penentang lain untuk Yerusalem Perjanjian Perdamaian, oleh Presiden Anwar al-Sadat . Saadawi adalah salah satu wanita yang diadakan di Penjara Qanatir Perempuan. Penahanan dirinya membentuk dasar untuk memoarnya, Mudzakkirati Sijn fi An-Nisa ΚΎ (Memoar dari Penjara Perempuan, 1983).
Karya-karyanya meliputi:
  • Memoar Seorang Dokter Perempuan (1960, 1980; diterjemahkan oleh Catherine Cobham , 1989)
  • Perempuan di Titik Nol (1975; diterjemahkan oleh Sheriff Hetata, 1983)
  • The Hidden Face of Eve: Perempuan di Dunia Arab (1977; transl oleh Sheriff Hetata, 1980.)
  • Kematian seorang Mantan Menteri (1980;. Transl oleh Shirley Eber, 1987)
  • Dia tidak memiliki tempat dalam surga (1979;. Transl oleh Shirley Eber)
  • Dua Perempuan dalam Satu (1983; transl oleh. Osman Nusairi dan Jana Gough, 1985)
  • Memoar dari Penjara Perempuan (1984; transl oleh Marilyn Booth, 1994.)[1]

Minggu, 11 November 2012

“I will always miss you, I will always remember you”


“I will always miss you,
I will always remember you”

Malam itu hujan turun cukup deras. Lulu masih termenung di kamarnya. Sudah tiga hari, ia merasa malas untuk belajar. Ia ingat, ada tugas yang harus diselesaikannya dan dikumpulkan besok. Tapi ia sama sekali tidak dapat berpikir. Matanya tertuju pada satu benda yang ada di rak bukunya. Ia mengambil buku itu, melihat foto yang ada di dalamnya. Melihat satu foto dengan mata menerawang. Ia merindukannya. Merindukan orang itu. Dadanya sesak. Dan ia ingin menangis.
***
Tiga hari yang lalu, Lulu masih di jalan, menuju kampus. Ponselnya bergetar. Sebuah sms dari Anggi, teman SMA-nya. Dibukanya pesan itu. Lulu tertegun membacanya. Jantungnya berdebar kencang. Dan ia segera menghubungi Kemal.
“Halo?” sapa Kemal dari ujung sana.
“Mal, kamu udah denger kabar tentang Sofia?” Tanya Lulu cepat.
“Udah..” Jawab Kemal dengan  singkat dan lemas.
“Jadi beritanya benar?” Tanya Lulu lagi, tidak percaya.
“Iya..”
Dan saat itu pula Lulu segera mematikan ponsel. Termenung sejenak. Rindu Lulu padanya tiba-tiba muncul. Dadanya sesak. Matanya ingin menangis. Ia tidak mengerti dengan apa yang dirasakan. Ia tidak dekat dengan sosok bernama Sofia, dan ia merasakan rindu yang sangat dalam pada gadis itu. Mengapa aku bisa merasakan ini? Mengapa sosoknya hadir dalam pikiranku? Dan bayangan wajahnya terlihat sangat jelas..
Mendadak Lulu merasa tubuhku lemas. Masih tidak percaya dengan kabar yang ia terima dari Anggi. Kembali ia pandangi ponsel, mencari nomor Anggi.
“Gi, gimana ceritanya?” Tanya Lulu.
“Iya, katanya sakit.” Jawab Anggi.
“Sakit apa?”
“Komplikasi.. Paru-paru, maag, ginjal, nggak tau apa lagi..”
“Nggak percaya..” kata Lulu sambil menggelengkan kepala.
“Aku juga.”
“Kamu udah ke sana?”
“Udah.. Dia cantik banget waktu dikafani..”
Aku diam menahan napas. Hening.
“Katanya, hari ini ada praktikum.” Lanjut Anggi. “Dia lagi sakit, tapi maksain kuliah. Padahal tahun depan dia lulus, dia kan D3..”
Lulu merasa masih tidak percaya. Lulu merasa sangat menyayanginya. Menyayangi orang yang tidak begitu ia kenal. Lulu mengenalnya saat masih duduk di bangku SMA, kelas satu. Ia bertemu dengan Sofia, karena satu ekskul. Di sana pula, Lulu mengenal Anggi dan Kemal. Awal-awal, Lulu sempat merasa risih jika bertemu dengan Sofia, karena menurutnya Sofia hanya mau berbicara pada orang-orang yang memang sudah dia kenal sebelumnya.
Selama enam bulan Lulu mengenal Sofia di ekskul, mereka masih saja tidak dekat. Jarang mengobrol. Mungkin hanya sesekali, dan itupun yang sangat penting.
“Kamu tahu Sofia?” Tanya Junia, teman sebangku Lulu.
“Sofia?” Lulu mengerutkan kening. Berusaha mengingat ‘Sofia’ mana saja yang ia tahu.
“Iya, Sofia. Masa kamu nggak tahu? Kalian satu ekskul, kan?” Tanya Junia lagi.
“Oooh..” Lulu membulatkan bibir. “Yang itu..”
“Dia pinter, ya?”
Lulu mengangkat bahu. “Aku nggak begitu kenal sama dia. Emangnya kenapa?”
“Kok malah nanya ‘kenapa’? Kamu nggak tahu berita tentang dia?” Tanya Junia dengan nada tidak percaya.
Lulu menatap Junia dengan bingung. “Maksudnya?”
“Di angkatan kita, nilai tertinggi tuh nilainya Sofia..”
Sejak saat itu, Lulu sering memperhatikan Sofia dalam diam. Ia masih tidak percaya, orang seperti Sofia ternyata pintar. Ternyata kamu diam-diam menghanyutkan.. katanya dalam hati.
Lulu terkejut melihatnya hari itu. Di gedung yang digunakan untuk tempat pelepasan atau perpisahan. Mata Lulu menangkap sosoknya. Sosok Sofia yang mengenakan kebaya merah muda. Dia terlihat sangat cantik. Wajahnya tidak dipoles terlalu mencolok, seperti teman-teman yang lainnya. Cantiknya terlihat natural. Sangat alami. Lulu memperhatikannya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Mata Lulu memicing. Ia melihat higheels setinggi kurang lebih lima sentimeter menaungi kaki Sofia.
Lulu tidak pernah menyangka. Sofia yang biasa dia lihat di sekolah selama tiga tahun, bukan Sofia yang feminine. Gadis itu justru terlihat cuek dan tomboy. Tidak pernah terlihat ia berpakaian feminine. Dan hari itu, Lulu yakin semua mata yang melihatnya, pasti tidak percaya bahwa itu adalah Sofia.
***
Lulu kembali ke dunia nyata. Ia masih menatap foto Sofia dalam album kenangan masa SMA itu. sofia sedang duduk sambil menatap ke jendela. Bayangan Sofia terlihat di sana. Lulu merasa masih tidak percaya. Lulu merasa sangat menyayanginya. Menyayangi orang yang tidak begitu iakenal. Setiap saat, ingatan Lulu kembali padanya. Lulu mulai menangis.
“Kenapa, Lu?” Tanya Lili, kakaknya yang masuk ke kamar Lulu untuk meminjam jaket.
Lulu memeluk Lili erat. Lili bingung. “Ada apa? Tenangkan diri kamu..”
Dari mulut Lulu, mengalirlah cerita tentang Sofia. Mulai dari awal pertemuan mereka, sampai berita yang ia terima tiga hari yang lalu dari Anggi. Lili mendengarkan dengan raut wajah sedih.
“Sabar, Lu.. Umur itu, ada di tangan Allah..”
“Tapi kenapa aku harus merasa kayak gini? Merasa sangat kehilangan dia, merasa sangat dekat dengan dia, merasa tidak percaya dengan semuanya.. Padahal aku nggak begitu kenal sama dia..”
“Karena kamu begitu mengaguminya.”
“Tapi ini udah tiga hari, Li.. Dan aku nggak bisa hilangin bayangannya. Aku selalu memikirkannya, padahal aku nggak mau.”
“Dia butuh doa kamu, Lu..”
“Doakan dia..”
Lulu mengangguk.
“Lu, aku pinjam jaket kamu, ya!” kata Lili saat adiknya sudah mulai tenang.
Lulu manyun. Ia ingin marah pada Lili, tapi ia sedang malas. Akhirnya ia pun membiarka jaket kesayangannya dipinjam oleh kakaknya. Setelah Lili keluar dari kamar Lulu, Lulu mengambil diary dari rak buku yang ada di samping lemari baju. Ia meraih pulpen bertinta biru, dan mulai menulis.
“Sofia, kamu orang yang baik. Banyak orang iri padamu. Termasuk aku. Kamu cantik. disukai banyak laki-laki, bahkan sahabatku, Kemal, juga menyukaimu. Kamu juga pintar. Tiga tahun selalu menjadi juara umum satu angkatan, siapa yang tidak iri? Aku selalu melihat kamu begitu sempurna. Mengatakan agar ikhlas itu mudah, Sof. Tapi melakukannya sulit. Jujur aku masih tidak ingin percaya bahwa kamu telah pergi. Tapi itulah kenyataannya. Kamu memang telah pergi, tapi tidak di hatiku ini. Kamu akan selalu hidup di sini. Di hati ini, sebagai sosok yang kukagumi. Sofia, I will always miss you. I will always remember you..”